Gadis Jeruk

Jika
ada buku yang membuatku gusar, sekaligus takut, setelah membacanya, itu
adalah Gadis Jeruk. Penulisnya Jostein Gaarder. Banyak sudah buku yang
kubaca tapi efek gusarnya tidak melebihi kegusaranku setelah membaca
buku itu. Sebenarnya buku itu nggak seram-seram amat, bahkan sangat
indah. Dialog anak dan bapak yang sangat indah, menegangkan, juga,
sekaligus, mengharukan. Kuakui, aku sempat meneteskan
air mata di tengah pembacaan buku itu karena saking mengharukannya.
Tapi masalahnya bukan soal keharuan itu. Bukan di situ. Ada bagian lain
yang membuatku khawatir akan ketidakmampuanku menjaga amanah berupa
anak-anak, ketiga putriku, di zaman yang makin meresahkan ini. Buku itu
bahkan sempat menerbitkan setitik rasa sesal karena telah turut andil
dalam menghadirkan ketiga putriku di dunia ini meski kutahu, ada
tidaknya mereka adalah karena ketentuanNya semata. Aku tahu, perasaan
itu salah adanya. Rasa sesal itu tak seharusnya kumunculkan. Aku merasa
sangat berdosa kepada anak-anakku karena kurang memerhatikan mereka,
terutama kebutuhan mereka akan perhatian, kasih sayang, dan pengajaran
akan agamanya. Akupun langsung bertaubat dan memohon ampun
sebanyak-banyaknya kepada Tuhan asbab kelemahan hatiku itu. Tapi
bukankah manusia adalah makhluk yang lemah? Wajarlah bila mereka
menyandarkan urusannya kepada yang Maha Kuat.
Membaca buku itu
pula aku jadi teringat dengan sebuah ayat di akhir surat An Naba
tentang penyesalan orang-orang kafir dimana mereka memilih untuk jadi
tanah yang bebas perhitungan di hari akhir. Teringat pula diriku dengan
perkataan sayyidina Abu Bakar yang lebih memilih untuk jadi rambut dan
sayyidina Utsman bin Affan yang lebih suka untuk menjadi debu. Amboi,
nikmatnya jika diri ini jadi sekeping batu di tengah padang pasir yang
panas, atau air yang mengalir di sungai yang ganas. Nikmat, karena diri
ini bebas perhitungan dan pembalasan di hari kemudian. Nikmat, karena
aku tak perlu khawatir akan kemana diriku ini berakhir, apakah ke syurga
atau ke neraka kelak, merasakan sejuknya rimbunan pepohonan atau merasa
kepanasan di bawah jerangan api yang berkobar tinggi. Atau mungkin
menjadi sebuah jeruk, yang langsung terbebas dari dunia yang fana
setelah melakukan pelayanan purna kepada manusia yang membelah tubuhnya
dan memeras semua saripatinya lalu membuangnya di selokan, di tempat
sampah, dan di kebun kosong tak bernama.
Kiranya Allah ampuni
semua dosa kita, maafkan segala salah kita, kuatkan kelemahan kita,
lengkapi kekurangan kita, dan mengumpulkan aku, keluargaku, dirimu,
keluargamu, dan kita semua di jannahNya yang mulia kelak. Amin. [libridiary]
Saaba, Juni 2016
No comments:
Post a Comment