Norman
Gary Finkelstein adalah seorang Amerika keturunan Yahudi. Ia juga
doktor jebolan Princeton University. Ibunya adalah Yahudi Polandia, dan
di masa Perang Dunia ke 2, ia pernah tinggal di Warsaw Ghetto dan
dipekerjakan di Kamp Konstentrasi Majdanek. Ayahnya juga seorang aktivis
sosialis Yahudi, Hashomer Hatzair. Sama halnya dengan sang ibu, ayahnya
juga pernah tinggal di Warsaw Ghetto dan dikerjapaksakan
di Kamp Konsentrasi Auschwitz. Dengan latar belakang Yahudinya yang
kuat, adalah sangat mengherankan jika Mr. Finkelstein menulis buku yang
justru mencoreng citra Yahudi ini.
Sebagaimana halnya kita
tahu bersama, kebebasan berpendapat ibarat Tuhan di dunia Barat. Bagi
mereka, mengkritik Tuhan, Nabi, dan agama adalah hal yang biasa. Bahkan
menjadikannya sebagai objek guyonan pun bukan masalah bagi mereka. Kita
ingat dengan peristiwa karikatur Nabi yang pernah dirilis oleh sebuah
media di Swedia, dimana mereka melakukannya dengan dalih kebebasan
berpendapat.
Tapi ketika kebebasan berpendapat itu berbenturan
dengan holocaust, maka spontan dunia Barat akan bersikap lain. Bagi
mereka, yang berkepentingan, holocaust dianggap lebih tinggi posisinya
dari Tuhan dan lebih suci dari kitab suci. Sampeyan boleh bicara
semelantur apapun tentang Tuhan dan agama, tapi tidak dengan holocaust.
Sejarah mencatat bahwa korban pembungkaman kebebasan berekspresi
seputar holocaust ini lumayan banyak. Di antara nama-nama yang terkenal
adalah Manfred Rouder, Fred Louchter, Frederick Toben, Bruno Gelinsh,
Robber Fidson, termasuk Presiden Iran terdahulu, Mahmoud Ahmadinejad.
Beberapa di antara mereka bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan
bunuh diri karena tekanan yang begitu besar dari media dan komunitas
Yahudi seperti German Rodef karena menulis buku Dissection Holocaust.
Penulis buku ini kemudian menapaki jalan yang sebelumnya telah dilalui
oleh orang-orang tersebut: mempertanyakan keabsahan holocaust, bahkan,
lebih jauh, ia juga mengkritik penggunaan peristiwa yang nyaris tidak
masuk akal itu dengan mengatakan bahwa isu playing-victim tersebut
dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan ekonomi dan politik
mereka. Iya, pembantaian enam juta jiwa Yahudi yang dilakukan oleh Nazi
di bawah kendali Adolf Hitler dinilai oleh buku ini sebagai sebuah
asumsi sejarah yang tidak didasarkan fakta, bahkan berlawanan dengan
akal sehat. Dengan argumentasi yang tajam dan didukung oleh data-data
yang kuat, Mr. Finkelstein melakukan kritik atas sesuatu yang selama ini
sacred, bahkan tabu untuk dikulik lebih dalam, oleh sebagian masyarakat
Barat.
Playing victim adalah sebuah metode khas Yahudi.
Dimana mereka selalu memposisikan dirinya sebagai korban dari
ketidakadilan, melakukan framing yang kuat di ruang publik bahwa mereka
harus dikasihani dan diberi simpati, dan karenanya mengambil keuntungan
dari persepsi publik yang muncul dari situasi itu meski dengan cara
mengorbankan pihak lain. Penjajahan Palestina salah satunya. Metode
Playing victim ini pula yang terjadi pada simpatisan Partai Komunis
Indonesia pasca tragedi 1965 dimana setelah era reformasi dan kran
kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya, mereka mulai memposisikan
diri sebagai korban yang patut dikasihani karena kekejaman rezim Orde
Baru. Adapun pembantaian mereka terhadap para ulama dan rakyat pada
medio pra 1965 perlahan dilupakan dan diskursus tentangnya mulai
dikurangi di ruang publik. Semacam operasi cuci tangan.
Jadi,
kalau akhir-akhir ini kita menemui ada pihak yang memposisikan dirinya
sebagai korban, playing victim, padahal sebelumnya ia sudah berbuat
kerusakan karena ketidakmampuannya menahan lisan, maka, berdasarkan
pembacaan terhadap buku ini dan pertimbangan akal sehat serta berkaca
pada sejarah negeri kita sendiri, kita bisa berkesimpulan bahwa ada
sesuatu yang ditargetkan dari operasi playing victim tersebut. Targetnya
apa? Silakan sampeyan analisa sendiri.[libridiary]
Meruya, November 2016

No comments:
Post a Comment