Lima
Serpihan Moral. Itu adalah sebuah judul buku tipis yang ditulis oleh
Umberto Eco. Judul aslinya Cinque Scritti Morali dan terbit pada tahun
1997 di Italia. Buku itu diterjemahkan pertama kali dalam bahasa Inggris
pada tahun 2001 dan diterbitkan di Indonesia pada tahun 2002. Sependek
yang saya tahu, buku itu sudah diterbitkan lagi secara indie oleh sebuah
penerbit di Yogyakarta.
Pernah baca buku itu? Kalau belum, maka saya sarankan sampeyan untuk membacanya karena itu adalah buku yang sangat bagus.
Secara garis besar, Lima Serpihan Moral adalah refleksi mendalam Eco
terhadap beberapa topik besar yang bersirkulasi di dunia ini seperti
perang, fasisme, pers, dan renungan tentang masa depan fundamentalisme
menjelang pergantian milenium.
Pada bagian yang berjudul
Migrasi, Toleransi, dan Hal-Hal yang Tak Dapat Ditolerir, Eco memberikan
pandangannya terkait pergantian milenium dan hal-hal yang lain yang
berpusar di sekitarnya seperti migrasi dan semakin mencairnya aspek
etnisitas dan kesukuan, serta kajian mendalam tentang fundamentalisme
dan toleransi di era milenium, dimana dunia semakin tak bersekat dan
kemurnian sebuah ras di ambang kepunahan sebagai akibat dari dunia
sebagai melting pot raksasa yang dinamis dan bergerak.
Di dalam
artikel itu, Eco menjelaskan tentang epistemologi fundamentalisme dari
sudut pandangnya sebagai orang yang lahir dan besar dalam lingkungan
Katolik di Italia. Ia berkata bahwa fundamentalisme adalah sebuah
prinsip hermeneutik yang terkait dengan penafsiran kitab suci. Bahwa
fundamentalisme Barat lahir dari lingkungan Protestan di Amerika dimana
salah satu bentuknya adalah dengan melakukan penafsiran Alkitab secara
harfiah dan meninggalkan metode ortodoks sebagaimana yang dipakai oleh
kalangan Katolik. Dan seterusnya.
Ada bagian yang menarik
perhatian saya ketika Eco selesai mendedahkan pandangannya tentang
fundamentalisme sebagaimana yang dipahaminya itu.
"Saya harus menghilangkan pembahasan tentang fundamentalisme Islam dan Yahudi, yang akan saya serahkan kepada ahlinya."
Memang demikianlah adab seorang ilmuwan yang objektif. Bahwa ia hanya
akan menjelaskan sesuatu yang dikuasainya, sesuatu yang dekat dengan
kesehariannya, dan sesuatu yang menjadi bagian dari kepercayaannya
tenimbang membahas hal lain yang berada di luar "lingkarannya". Sebuah
keputusan yang, menurut saya, sangat bijak meski saya kira wajar jika ia
menyampaikan pendapatnya tentang definisi fundamentalisme dari dua
"saudara" kaum Masehi itu berdasarkan kapasitasnya keilmuannya.
Tapi belakangan ini, di linimasa saya, bertaburan pernyataan, yang
kebanyakan bernada guyonan, dari seseorang yang bahkan tidak mempercayai
(baca: tidak mengimani) objek guyonannya, namun dari ucapan dan
pernyataannya itu seolah-olah ia adalah manusia yang paling paham dan
paling tahu banyak dengan objek yang sedang dibicarakannya itu.
Mungkin itulah bedanya antara orang yang beragama dengan akal sehat
dengan orang yang beragama dengan mengedepankan romansa dan prasangka
melodrama ansich. Jadi semangat keberagamaan orang lain direfleksikan
dan dinilai dari pengalamannya dalam menjalankan agamanya sendiri yang
terkadang tidak ditunjang dengan semangat literer. Sehingga benar
salahnya dan sesuai tidaknya cara orang memandang agamanya hanya dinilai
berdasarkan selera dan prasangka kerdilnya semata.
Saya
pribadi menghindari cara berpikir semacam itu dan memilih untuk
mendiamkannya. Tulisan remeh-temeh ini saya buat bukan untuk merespon
cara berpikir orang-orang semacam itu, tapi lebih kepada pengejawantahan
pemahaman saya terhadap enam ayat dari surat ke 109 di Alquran, kitab
suci yang saya imani, yang berbunyi lakum dinukum waliyadin. Untukmu
agamamu, dan untukku agamaku.
Kiranya demikian. [libridiary]
Saaba, Desember 2016

No comments:
Post a Comment