Aku menatap layar laptop mungil milik istriku. Buku-buku berserakan di sekelilingku. Debu yang menyemuti permukaan lemari kayu yang ada di sampingku membuat hidungku terasa gatal. Putri bungsuku sedang memegang buku Tilawati dan memandanginya sambil merapalkan beberapa huruf hijaiyah dengan nada tertentu. Sedangkan putri tengahku sedang memegang buku komik Kobo Chan dan membuka-buka beberapa halamannya sambil sesekali tertawa. Putri sulungku sudah terlelap di balik timbunan bantal berbau apak dan istriku tampaknya sudah ingin ikut tidur.
Malam ini aku tidak ada agenda. Istriku awalnya ingin menghadiri pengajian Tilawati di Pelita tapi aku mencegahnya. Kondisi badanku masih kurang terlalu baik pasca sakit dua hari yang lalu. Lagipula, kami sekeluarga sudah cukup lama tidak menghabiskan sore menjelang malam di rumah secara bersama-sama. Kegiatan demi kegiatan selalu datang silih berganti. Mulai dari lembur di kantor, rapat ini itu, dan agenda-agenda lain. Hari Selasa malam kemarin, meski aku belum terlalu fit, ada dua agenda rapat yang berlangsung pada waktu yang berhimpitan. Sebuah situasi yang mengharuskanku membuat keputusan segera, rapat mana yang harus aku ikuti dan yang mana yang terpaksa harus kutinggalkan. Oleh karenanya, mumpung lagi tidak ada agenda, aku ingin memanfaatkannya dengan beristirahat di rumah.
Diselingi suara obrolan anak-anak muda yang sedang berkerumun di depan rumah, aku lanjut menekuri buku Taiko yang sudah kubaca sejak hari Ahad kemarin, yang kini sudah nyaris masuk ke halaman 600. Buku berdurasi seribu seratus halaman lebih itu sebenarnya sudah pernah kubaca tujuh atau delapan tahun yang lalu waktu aku masih mula-mula berada di Luwuk.
Buku itu sendiri punya riwayat unik. Awalnya, buku itu milik Adi, seorang pegawai Telkomsel yang rumahnya aku jadikan tempat menumpang selama beberapa hari pertama kedatanganku di Luwuk. Dari Adi, buku itu berpindah ke Dede, teman seperjalananku dari Jakarta ke Luwuk, yang juga teman seangkatanku di STAN. Dari Dede, aku mewarisi buku itu selama beberapa tahun sampai akhirnya buku itu ‘jatuh’ ke tangan ustadz Iswan yang mengelola Perpustakaan Mitra Insan Madani di tanjakan SMP 1 Kampung Baru. Lama berada mengendon di perpustakaan, buku itu hendak kuminta kembali untuk melengkapi koleksi Rumah Baca Jendela Ilmu yang mulai kukelola tahun 2014 kemarin. Sayang, buku itu raib entah kemana. Peminjamnya tidak diketahui.
Ketika aku ke Jakarta beberapa bulan yang lalu, dimana ketika itu berbarengan dengan diadakannya Gramedia Fair di Matraman, aku lalu membelinya lewat seorang penjual buku langgananku. Buku yang sempat hilang itu pun akhirnya kembali ke pangkuan lemari bukuku sebulan yang lalu sepulangku dari Makassar, meski harus berubah wajah dengan edisi yang lebih baru.
Pada pembacaan yang ke dua ini, aku menyengaja diri mendampinginya dengan buku catatan dan pulpen berujung kecil. Ketika aku pertama kali membaca buku ini, aku ingat ada banyak petuah-petuah dan strategi militer yang terdedah dalam proses interaksi antara Hideyoshi, sang pusaran cerita, dengan Nobunaga dan Ieyasu. Petuah-petuah yang lupa kukutip ketika itu kini coba kukumpulkan kembali. Siapa tahu bisa jadi sumber inspirasi tulisanku kelak.
Salah satu kalimat yang menarik perhatianku adalah ketika Eiji, penulis buku babon ini, menggambarkan aroma Nene dengan redaksi “Wangi bunga hutan di malam bulan purnama.” Kalimat itu terdapat pada halaman 188 ketika Hideyoshi tengah mabuk kepayang kepada seorang putri samurai yang kelak menjadi istrinya itu.
Kalimat lain yang menarik perhatianku adalah “Jangan menjadi laki-laki yang, karena sibuk mencari makan, menghabiskan hidupnya dalam kebimbangan.” Kalimat itu ada pada halaman 59, saat Hiyoshi (Hideyoshi cilik) tengah hidup dalam masa-masa sulit. Atau kalimat bertenaga “Dunia sedang menunggu kita yang masih muda” di halaman 81.
Selain kalimat-kalimat di atas, aku juga mencatat bagian-bagian lain yang menarik perhatianku. Semuanya itu ada yang kusalin seluruh kalimatnya, ada juga yang kutulis letak halamannya. Aku juga mencoret-coret bukuku dengan kurung kurawal, supaya aku mudah mendapatkan kalimat yang dimaksud itu. Kebiasaan mencoret-coret buku dan menyalin kalimat yang menarik di buku tersendiri adalah kebiasaan lama yang ingin kuhidupkan kembali. Kadang aku merasa menyesal sekali dengan buku catatan lamaku yang berisi kutipan kalimat dari buku-buku yang sudah pernah kubaca itu hilang entah kemana. Semoga dengan pembacaan Taiko ini, kebiasan itu bisa kumulai lagi meski dengan tingkat ketekunan yang tak lagi seperti dulu. [libridiary]
Kilongan, November 2015
Malam ini aku tidak ada agenda. Istriku awalnya ingin menghadiri pengajian Tilawati di Pelita tapi aku mencegahnya. Kondisi badanku masih kurang terlalu baik pasca sakit dua hari yang lalu. Lagipula, kami sekeluarga sudah cukup lama tidak menghabiskan sore menjelang malam di rumah secara bersama-sama. Kegiatan demi kegiatan selalu datang silih berganti. Mulai dari lembur di kantor, rapat ini itu, dan agenda-agenda lain. Hari Selasa malam kemarin, meski aku belum terlalu fit, ada dua agenda rapat yang berlangsung pada waktu yang berhimpitan. Sebuah situasi yang mengharuskanku membuat keputusan segera, rapat mana yang harus aku ikuti dan yang mana yang terpaksa harus kutinggalkan. Oleh karenanya, mumpung lagi tidak ada agenda, aku ingin memanfaatkannya dengan beristirahat di rumah.
Diselingi suara obrolan anak-anak muda yang sedang berkerumun di depan rumah, aku lanjut menekuri buku Taiko yang sudah kubaca sejak hari Ahad kemarin, yang kini sudah nyaris masuk ke halaman 600. Buku berdurasi seribu seratus halaman lebih itu sebenarnya sudah pernah kubaca tujuh atau delapan tahun yang lalu waktu aku masih mula-mula berada di Luwuk.
Buku itu sendiri punya riwayat unik. Awalnya, buku itu milik Adi, seorang pegawai Telkomsel yang rumahnya aku jadikan tempat menumpang selama beberapa hari pertama kedatanganku di Luwuk. Dari Adi, buku itu berpindah ke Dede, teman seperjalananku dari Jakarta ke Luwuk, yang juga teman seangkatanku di STAN. Dari Dede, aku mewarisi buku itu selama beberapa tahun sampai akhirnya buku itu ‘jatuh’ ke tangan ustadz Iswan yang mengelola Perpustakaan Mitra Insan Madani di tanjakan SMP 1 Kampung Baru. Lama berada mengendon di perpustakaan, buku itu hendak kuminta kembali untuk melengkapi koleksi Rumah Baca Jendela Ilmu yang mulai kukelola tahun 2014 kemarin. Sayang, buku itu raib entah kemana. Peminjamnya tidak diketahui.
Ketika aku ke Jakarta beberapa bulan yang lalu, dimana ketika itu berbarengan dengan diadakannya Gramedia Fair di Matraman, aku lalu membelinya lewat seorang penjual buku langgananku. Buku yang sempat hilang itu pun akhirnya kembali ke pangkuan lemari bukuku sebulan yang lalu sepulangku dari Makassar, meski harus berubah wajah dengan edisi yang lebih baru.
Pada pembacaan yang ke dua ini, aku menyengaja diri mendampinginya dengan buku catatan dan pulpen berujung kecil. Ketika aku pertama kali membaca buku ini, aku ingat ada banyak petuah-petuah dan strategi militer yang terdedah dalam proses interaksi antara Hideyoshi, sang pusaran cerita, dengan Nobunaga dan Ieyasu. Petuah-petuah yang lupa kukutip ketika itu kini coba kukumpulkan kembali. Siapa tahu bisa jadi sumber inspirasi tulisanku kelak.
Salah satu kalimat yang menarik perhatianku adalah ketika Eiji, penulis buku babon ini, menggambarkan aroma Nene dengan redaksi “Wangi bunga hutan di malam bulan purnama.” Kalimat itu terdapat pada halaman 188 ketika Hideyoshi tengah mabuk kepayang kepada seorang putri samurai yang kelak menjadi istrinya itu.
Kalimat lain yang menarik perhatianku adalah “Jangan menjadi laki-laki yang, karena sibuk mencari makan, menghabiskan hidupnya dalam kebimbangan.” Kalimat itu ada pada halaman 59, saat Hiyoshi (Hideyoshi cilik) tengah hidup dalam masa-masa sulit. Atau kalimat bertenaga “Dunia sedang menunggu kita yang masih muda” di halaman 81.
Selain kalimat-kalimat di atas, aku juga mencatat bagian-bagian lain yang menarik perhatianku. Semuanya itu ada yang kusalin seluruh kalimatnya, ada juga yang kutulis letak halamannya. Aku juga mencoret-coret bukuku dengan kurung kurawal, supaya aku mudah mendapatkan kalimat yang dimaksud itu. Kebiasaan mencoret-coret buku dan menyalin kalimat yang menarik di buku tersendiri adalah kebiasaan lama yang ingin kuhidupkan kembali. Kadang aku merasa menyesal sekali dengan buku catatan lamaku yang berisi kutipan kalimat dari buku-buku yang sudah pernah kubaca itu hilang entah kemana. Semoga dengan pembacaan Taiko ini, kebiasan itu bisa kumulai lagi meski dengan tingkat ketekunan yang tak lagi seperti dulu. [libridiary]
Kilongan, November 2015