Pada waktu itu matahari sudah jauh condong ke barat. Tiga orang musafir, yang berjalan kaki sedang dalam perjalanannya. Mereka itu mempercepat langkah, agar dapat berbuka puasa di kampung orang. Menjelang akan sampai ke sebuah kampung kecil, yang masuk bahagian Batangtoru, mereka itu berhenti sebentar akan bermusyawarah.
“Di kampung itu tidak ada lepau nasi, kenalan kitapun tidak ada. Di manakah kita akan menumpang? Bertanak sendiri dalam puasa begini, saya tak sanggup rasanya” kata seorang, yang bernama si Burkat.
“Itulah sebabnya maka saya katakan tadi, lebih baik kita bermalam di Sitinjak saja; di sana ada warung nasi,” jawab temannya yang bernama si Togop.
“Saya sangka tadi, jika diburu-buru berjalan, dapat juga kita bermalam di Batangtoru, rupanya tidak. Akan tetapi, menyesal dan mengeluh tak ada gunanya. Lebih baik kita cari akal, supaya kita dapat makan petang ini.” Sejurus lamanya ketiganya tiada berkata-kata.
“Aku dapat suatu akal,” berkata si Burkat sambil memadang kedua temannya berganti-ganti. Salah seorang di antara kita bertiga, kita panggilkan kepala kampung.”
”Kalau dipanggilkan kepala kampung saja saya rasa belum akan kenyang perut,” jawab si Togop.
“Itu saya tahu. Tetapi bagaimana akal yang terpikir oleh saya itu, belum saya keluarkan semuanya. Dengarlah baik-baik. Kita semua tahu, orang yang tenama atau orang yang berpangkat lebih dimalui orang daripada orang sembarang saja. Jadi, salah seorang diantara kita, kita sebut kepala kampung, dua orang jadi pengiringnya. Dengan hal demikian, di kampung ini kita menetap saja ke rumah kepala kampungnya. Saya rasa dia suka menjamu kita buat semalam ini.”
”Menurut pikiran saya akal itu dapat dipakai. Tetepi karena engkau yang mendapat akal itu, engkaulah pula kita angkat jadi kepala kampung itu. Kami berdua jadi pengiring,” kata si Togop.
“Engkau Togu, bagaimana pikiranmu?” bertanya si Burkat kepada temannya yang seorang lagi.
” Saya menurut saja!” jawab si Togu.
“Baik. Tetapi mula-mula patutlah saya diberi bergelar dahulu. Sebut sajalah saya Sutan Menjinjing Alam. Tetapi hati-hati, jangan sesat, kalau-kalau terbuka rahasia kita. Jika terbuka, bukan saja kita tidak dapat makan, tetapi badan kita akan merasai pula orang buat. Bungkusan dan payung saya ini bawalah oleh kamu berdua, karena tak pantas lagi seorang raja membawa bungkusan kalau saya ada pengiringnya.”
Sudah itu berjalanlah Sutan menjinjing alam di muka, diiringi si Togop dan si Togu.
Sesampai di kampung yang disebut tadi, setelah bertanya kepada seorang orang kampung itu, mereka itu pun teruslah menuju ke rumah kepala kampung. Mula-mula naiklah si Togu mengabarkan kedatangan mereka itu kepada yang empunya rumah.
Tiada berapa lama dengan bergegas turunlah seorang laki-laki yang setengah umur dari rumah. Dengan ramah tamah dan senyum simpul memberi salam serta mengajak Sutan Menjinjing Alam naik.
Sesampai di rumah, Sutan Menjinjing Alam dipersilakan duduk di atas permadani dan kedua kawannya di atas sehelai tikar pandan yang putih bersih.
Baru sebentar mereka itu duduk, kedengaranlah di sebelah belakang “reok” ayam. Kepala kampung yang tiada berbeslit itu pun memandang kepada kedua kawannnya, dengan pandang yang berarti, seolah-olah mengatakan : “Lihatlah, komidi kita berhasil baik!”
Setelah bercakap-cakap sejurus, waktu berbuka pun tibalah. Sebuah talam yang berisi penganan diangkat orang ke hadapan Sutan Menjinjing Alam, sedang si Togop dan si Togu dilayani seperti biasa saja.
“Marilah kita berbuka dahulu, Engku!” kata yang punya rumah. ”Tetapi buat makan, saya harap engkau akan sabar kiranya sampai lepas sembahyang Isya.”
“Tidak mengapa, Engku. Kami telah mengganggu kesenangan engku dan membuat orang kaya di rumah ini bersusah-susah, jawab Sutan Menjinjing alam sambil mengangkat sebuah gelas yang berisi seterup ke bibirnya.
Waktu hendak makan, sebuah talam diangkat orang pula ke hadapan Sutan Menjinjing Alam.pada piring gulainya tampaklah terbelintang sebuah paha ayam, dan pada piring lain sebilah dada ayam yang digoreng. Si togop dan si Togu hanya mendapat tulang-tulang rusuk dan tulang-tulang belakang saja.
Memandang perbedaaan itu, terbitlah cemburu dalam hati kedua pengiring itu, lebih-lebih lagi si Togop.
Waktu akan tidur, yang empunya rumah mengembangkan sehelai kasur untuk kepala kampung palsu itu, lengkap dengan bantal dan selimutnya; dan pengiringnya hanya mendapat sehelai tikar dan dua buah bantal.
“Marilah kita tidur, Engku. Engku telah payah benar berjalan sehari ini,” kata yang empunya rumah.
Tetapi baru saja ia masuk dan menguncikan pintu dari dalam, datanglah si Togop merangkak mendapatkan Sutan Menjinjing Alam. “Engkau telah mendapat beberapa kelebihan dari kami,” katanya dengan berbisik. Waktu berbuka engkau mendapat pebukaan yang lebih baik dan waktu makan engkau kenyang makan dagingnya, kami hanya mendapat tulang-tulangnya. Sekarang kita berganti, engkau tidur di tikar itu. Kami berdua tidur di atas kasur ini.
“Tidak. Siapa mau begitu?” jawab Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, menampik permintaan si Togop itu. Makanan itu rezekiku dan kasur itu pun rezekiku.
“Benar, tetapi sebabnya engkau peroleh itu karena bantuan kami. Kami kurbankan diri kami jadi pengiringmu dan kami sebutkan engkau kepala kampung. Jika tidak, tentu engkau tidak akan mendapat segala kesenangan ini.”
“Bukan untuk saya saja, kamu berdua pun tidak makan malam ini, jika tidak karena akalku.”
“Anak keparat rupanya engkau ini, curang, tamak, tidak setia berkawan, hanya memikirkan kesenangan sendiri saja,” kata si Togop bebisik.
”Engkau ini pun tidak setia, tambahan khianat, dengki, iri hati melihat orang mendapat kesenangan,” Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, karena takut kedengaran kepada yang empunya rumah.
”Ayo, sudah. Kasur ini biarlah kepadamu, tetapi selimut ini untukku,” kata si Togop sambil menarik selimut itu.
“Tidak, tidak. Biar bagaiamana tidak aku berikan,” jawab Sutan Menjinjing Alam.
“Alangkah sombongnya ini, Burkat. Baharu jadi kepala kampung icak-icak saja, sudah sepongah itu. Dicekiki hendaknya engkau ini, biar mampus.”
“Coba kalau berani,” jawab Sutan Menjinjing Alam sambil menghampirkan mukanya menentang muka si Togop. Tetapi untung akan celaka, kebetulan pada waktu itu ia batuk, air ludahnya terpercik ke muka si Togop, dan oleh karena itu si Togop seakan-akan kelupaan diri, maka dibalasnya perhinaan itu. Maka terjadilah peperangan ludah yang amat hebat, diiringi tinju, sepak dan terajang.
Bunyi dar, dur, kelantang-kelantung kedengaranlah dan rumah itu bergerak-gerak seperti diguncang gempa.
Dengan sangat terperanjat dan terburu-buru, yang empunya rumah pun keluar. Didapatinya si Togop sedang menghatam Sutan Menjinjing Alam, lalu ditolakkannya sambil berkata dengan gusar. “Tidak tahu adat engkau ini, berani menjatuhkan tangan kepada rajamu!”
“Ia bukan raja, bukan kepala kampung, tetapi penipu… Ia yang mengajak kami menipu Engku, menyuruh kami menyebut dia kepala kampung…”
“Engkau pun penipu!” kata kepala kampung palsu itu terengah-engah sebab ketakutan.
“O, sekarang aku sudah mengerti, kamu bertiga ini bangsat…penipu…menyungkahkan nasiku dengan akal busuk. Ayo! Kamu orang kampung ini, tangkap ketiga bangsat ini, boleh kita bawa kepada Engku Jaksa di Batangtoru,” kata yang empunya rumah kepada orang banyak, yang sementara itu datang berkerumun ke tempat itu.
Akan tetapi sebelum orang banyak dapat melakukan perintah itu, Sutan Menjinjing Alam dengan kedua pengiringnya telah meloloskan diri, melompat dari jendela dan hilang di tempat yang kelam.
Sumber: darisini
Sumber gambar: darisini