Membaca Pamuk

Sunday, June 15, 2014

Dari kemarin sore (14/6), ada satu buku yang menemani akhir pekan saya sampai sekarang; Silent House yang ditulis oleh Orhan Pamuk. Orhan Pamuk adalah seorang penulis Turki yang pernah meraih nobel sastra pada tahun 2006 silam dengan adikaryanya yang berjudul Benim Adim Kirmizi, atau My Name Is Red. Ngomong-ngomong soal Pamuk, beliau ini salah satu penulis favorit saya. Buku-bukunya sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di antaranya adalah The New Life, The White Castle, My Name Is Red, Snow, dan Istanbul Memoar Sebuah Kota. Kesemua buku Pamuk yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Serambi dan semuanya sudah out of print sejak bertahun silam. Karya lainnya seperti Silent House, The Black Book, The Museum of Innocence, dan dua kumpulan esaynya belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Saya sendiri menyimpan penyesalan yang sangat karena waktu awal ketika buku-buku terjemahan Pamuk masuk ke pasaran, saya menahan-nahan diri untuk tidak membelinya karena alasan klise: finansial. Sekarang, buku-buku itu sudah hilang dari pasaran dan penerbitnya, Serambi, sepertinya belum berencana untuk menerbitkannya kembali. Entah karena alasan apa. Kesulitan mencari buku-buku Pamuk yang berbahasa Indonesia membuat saya harus mencari versi terjemahan bahasa Inggrisnya, karena buku-buku Pamuk aslinya berbahasa Turki, di situs jual beli ebay. Alhamdulillah, dari kesembilan buku Pamuk versi bahasa Inggris, saya sudah punya enam di antaranya. Salah satu buku kumpulan esaynya yang berjudul Other Colors telah berhasil memikat saya untuk membacanya lebih jauh.

“This is a book made of ideas, images, and fragments of life that have still not found their way into one of my novels. I have put them together here in a continuous narrative. Sometimes it surprises me that I have not been able to fit into my fiction all the thoughts I’ve deemed worth exploring: life’s odd moments, the little everyday scenes I’ve wanted to share with others, and the words that issue from me with power and joy when there is an occasion of enchantment. “ [Orhan Pamuk, Other Colors]

Jadi boleh dibilang, buku ini merupakan sketsa pemikirannya yang belum ketemu chemistry-nya untuk dikembangkan menjadi tulisan yang lebih panjang. Di dalam buku ini, kita juga akan ditunjukkan proses kreatif Pamuk hingga menjadi seorang penulis kawakan termasuk kisah-kisah kehidupan pribadinya sebagai bagian dari keluarga borjuis Turki.

Buku-buku Pamuk selalu memikat. Tulisan-tulisannya memang seringkali sangat naif, bertele-tele, muram, lamban, dan meributkan detil-detil yang sepele. Tapi penguasaannya akan emosi manusia dan bagaimana emosi itu diekspresikan dan dinarasikan dengan penuturan yang halus menjadi kenikmatan tersendiri saat membaca karya-karyanya. Anda yang terbiasa dengan tulisan-tulisan yang straight to the point dan kurang suka dengan buku-buku bernuansa muram dan bertele-tele mungkin akan merasa lelah dan cepat bosan dengan cara Pamuk bercerita. Saya pun sempat tertidur saat kali pertama membaca bukunya. Mungkin karena mood yang sedang kurang enak. Tapi saat mood membaca sedang enak-enaknya, tulisan-tulisan Pamuk telah berhasil menggoda saya untuk membacanya lebih jauh.

Buku berjudul Silent House ini sendiri berkisah tentang seorang janda bernama Fatma, yang ditinggal mati suaminya karena perbedaan pandangan politik dengan pemerintah Turki kala itu, saat menjalani kunjungan tahunan dari cucu-cucunya yang memiliki pandangan hidup beraneka-rupa, kisah sang janda dengan pelayan setianya yang kerdil bernama Recep, dan kenangannya semasa hidup di sebuah mansion mewah di pinggiran Istanbul, menghidupkan buku ini dengan penokohannya yang kuat serta dialog-dialog naif nan muram ala Pamuk. Bacaan saya baru masuk ke halaman 67 dan belum bisa bercerita banyak tentang konten buku ini secara keseluruhannya.

Saya tidak akan banyak menulis tentang Pamuk dalam tulisan ini, berhubung saya juga belum membaca kesemua karyanya. Meski tak jarang ada beberapa poin dalam tulisan-tulisannya yang tidak saya sepakati, tapi Pamuk tetaplah pencerita jempolan yang, bagaimanapun, memiliki pesona dan ciri-khas bertuturnya sendiri. Sampai saat ini, saya masih menanti karya-karya Pamuk lain yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, meski tak tahu kapan terealisirnya. [perpustakaanpribadiku.blogspot.com]



Kilongan, Juni 2014 

You Might Also Like

0 comments