Bincang Buku: Berita di Balik Berita

Monday, August 18, 2014

Tadi siang, dua buah paket buku mendarat di kantor. Pak Bus (Bustan Masulili) mengantarkannya ke ruangan saya tepat sebelum saya beranjak keluar untuk istirahat siang. Ada sekitar 9 buku yang datang. Salah satu buku yang saya nanti-nantikan adalah Berita di Balik Berita yang ditulis oleh wartawan senior Washington Post: David S. Broder. David meninggal pada tahun 2011 silam karena sakit setelah menjalani 81 tahun hidup yang panjang dimana selama 40 tahun hidupnya diabdikan kepada salah satu media cetak terbesar di Amerika tersebut.

Mantan peraih Pulitzer Price, yakni penghargaan tertinggi untuk insan jurnalis dunia, pada tahun 1973 ini menelurkan banyak sekali buku. Salah satu diantaranya yang terbit pertama kali di Amerika pada tahun 1987 silam adalah buku yang sudah saya sebutkan di atas. Buku dengan judul asli Behind The Front Page, A Candid Look at How the News is Made ini diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan pertama kali pada tahun 1992 silam, atau lima tahun setelah buku ini terbit di Amerika.

Buku ini sendiri sudah cukup lama saya cari-cari. Setelah berkeliling di penjual buku online di facebook, dan sempat kehabisan, akhirnya saya menemukan buku ini juga. Terima kasih kepada Cak Ribut Wijoto yang sudah menjadi perantara bagi saya untuk mendapatkan buku ini dengan kondisi dan harga yang sama bagusnya.

Kajian tentang media dan segala dinamikanya memang menarik perhatian saya selama dua atau tiga tahun belakangan ini. Derasnya arus informasi dan kenaifan sebagian kita dalam menimbang konten sebuah berita yang dianggap sebagai kebenaran absolut menggelitik rasa ingin tahu saya tentang apa dan bagaimana dunia media itu sebenarnya. Saya sendiri memang bukan orang media. Hanya saja waktu saya masih SMA dulu, saya sempat membuat mading Rohis yang kontennya amburadul sekali. Saya lupa, ada berapa edisi mading yang dulu pernah saya dan teman-teman terbitkan. Selain itu, sejak kecil saya sudah senang melahap koran dan tabloid, baik yang dibeli langsung oleh orangtua saya maupun dengan meminjam dari tetangga.

Waktu kuliah saya juga sempat berinteraksi dengan buku-buku Mochtar Lubis (terlambat banget ya hehe) dan membaca buku hariannya yang dibuat ketika ia ditahan oleh rezim Orde Lama. Saya juga sempat mengelola website gratisan yang berfungsi sebagai corong informasi sebuah organisasi yang waktu saya ikuti. Selain itu, saya memang suka dengan dunia tulis-menulis dan membaca buku-buku yang ditulis oleh para jurnalis tentang keseharian mereka meliput dan menyajikan berita. Saya lalu membeli buku-buku yang membahas tentang sejarah media di Indonesia, buku-buku yang ditulis oleh jurnalis lokal, profil jurnalis kawakan Indonesia yang punya kualitas nasional bahkan internasional, dan membaca tulisan-tulisan mereka yang tersebar di media-media secara acak, agar dapat memahami berita dari segala sisi yang memungkinkan.

Mengamati dunia media kita akhir-akhir ini, saya dihinggapi semacam kegelisahan personal tentang bagaimana saya harus menghadapi sebuah berita yang telah disajikan di media-media tertentu, baik media online maupun media cetak, bagaimana saya harus bereaksi dan menanggapinya. Atau malah yang terjadi justru sebaliknya? Perlukah saya menanggapi semua berita yang lalu-lalang itu, yang level penting dan tidak pentingnya masih memerlukan kajian lebih lanjut, dan memilih untuk mengabaikan gegap-gempita yang terjadi di luar sana dan merasa nyaman dengan kepompong saya sendiri?

Membaca bagian-bagian awal dari buku ini saya merasa telah mendapatkan secercah cahaya yang menyinari kepompong gelap saya selama ini. Meski baru membaca sampai di halaman 15, saya merasa tersedot untuk menelusuri labirin-labirin seputar berita dan bagaimana sebuah media disajikan termasuk pernak-pernik yang terjadi di balik sebuah berita. Ada sepotong tulisan di dalam buku itu, yang pernah disampaikan oleh penulis saat ia berpidato paska dianugerahi Pulitzer Price, yang ingin saya tulis kembali di sini.

Alih-alih menjanjikan Semua Berita Yang Patut Dicetak, saya lebih suka kami semua mengatakan – berulang-ulang, sampai benar-benar dipahami – bahwa koran yang dijatuhkan di ambang pintu Anda adalah laporan yang ditulis secara sepihak, tergesa-gesa, tidak lengkap, pasti agak cacat dan tidak cermat tentang apa yang kami dengar dalam 24 jam yang lalu.

Kata-kata di atas, jika diucapkan oleh seorang wartawan picisan yang baru tahu dunia media satu atau lima tahun belakangan pasti akan dianggap angin lalu. Namun kata-kata itu diucapkan oleh salah seorang tokoh jurnalis dunia yang reputasinya diakui secara internasional. Membaca pernyataannya yang sangat kontroversial itu, mau tidak mau, kita perlu memasang antena kritis setinggi-tingginya dan membuang pandangan naif kita sejauh-jauhnya saat menelaah sebuah berita, dari media apapun!

Saya belum bisa menulis banyak karena saya baru saja membaca buku itu sebagian kecil saja. Mungkin kalau nanti sudah selesai dibaca, dilengkapi dengan bacaan seputar kajian media lainnya yang sedang menanti untuk saya baca,  saya akan menulis ulasan tentang buku itu dalam volume yang lebih banyak lagi.

Terakhir, saya hendak menyalin kembali salah satu bagian yang tercantum di buku itu dengan sedikit penyesuaian.

Sebagai wartawan kami semua tahu bahwa apa yang menyibukkan kami utamanya bukanlah memutuskan (berita) apa yang akan dimuat akan tetapi (berita) apa yang tidak akan dimuat. [mylibridiary]


Kilongan, Agustus 2014 

You Might Also Like

0 comments