Libridiary: Islam Lawan Fanatisme dan Intoleransi Bab I

Saturday, September 24, 2016

Melanjutkan proses penyalinan terhadap buku Islam Lawan Fanatisme dan Toleransi yang pernah saya posting di blog ini, saya ingin melakukan sedikit perubahan dalam proses penyalinan kali ini. Jika penyalinan yang pertama saya membiarkan begitu saja ejaan dan susunan kalimat secara apa adanya, sekarang saya berinisiatif untuk melakukan sedikit perubahan atas susunan kalimatnya. Saya melakukan inisiatif ini agar pembaca tidak mengalami kebingungan dan juga supaya tulisannya lebih nyaman dibaca.

Proses editing ini, yang awalnya saya kira mudah, ternyata lumayan susah juga. Maklum, namanya juga editor amatir, hehe. Ada beberapa kata dan kalimat yang harus saya rombak supaya jadi lebih mudah dimengerti. Mungkin karena terjemahan awalnya yang agak rancu. Ala kulli haal, semoga yang saya usahakan ini bisa berkenan dan bernilai ibadah di sisi Allah. Amin. Atas kekurangan yang ada, saya mohon ampun kepadaNya. Selamat membaca.




POKOK PERSOALAN

Selama lima ratus tahun terakhir, mereka melancarkan kecaman yang cukup “baik” terhadap agama. Mereka menghujaninya dengan berbagai corak dan warna. Mereka telah bekerja begitu keras untuk menyepuhnya dengan warna yang paling kotor dan gelap sehingga darinya dihasilkan lukisan yang begitu mengerikan. Dan sebagaimana peradaban modern Barat yang telah melakukan pemberontakan terhadap otoritas gereja yang Eropa yang korup, para penyeru itu menjadikannya sebagai ramuan mujarab untuk menyalahgunakan dan mencaci-maki agama, dimana sekularisme, materialisme, dan pandangan keserbailmuan telah mencengkeram pemikiran mereka dengan begitu kuat. Dalam kurun waktu inilah, pendidikan ala Barat mulai berkembang di dunia Islam dan di dalam pikiran para kaum cendekiawan muslim mulai membenih sikap bimbang terhadap agama – dan di sini, di anak benua ini, terhadap agamanya sendiri – Islam.

Banyak sekali kecaman yang dilontarkan terhadap agama. Akan tetapi kecaman yang paling sering didengar adalah bahwa agama merupakan sumber intoleransi. (Pandangan) seperti itu adalah warisan dari kebodohan manusia. Agama dan fanatisme dianggap berjalan beriringan. Darah manusia berlumuran dalam perang-perang bermotif agama. Kebebasan politik digerogoti oleh kekuasaan agama. Kebebasan intelektual tidak mendapat tempat dalam sebuah negara agama (yang mereka istilahkan sebagai Theokrasi). Ilmu dan agama senantiasa berhadapan satu sama lain sebagai lawan, dan orang hanya boleh mendukung salah satu di antaranya dan tidak boleh memilih keduanya sebab agama selalu bersikap antagonis terhadap ilmu. Pendeknya, agama, bagaimanapun juga adalah sesuatu yang fanatik, haus darah dan intoleran. Dan di zaman pencerahan seperti sekarang ini tidak ada tempat untuk agama yang telah berlumuran darah.

Pada mulanya, tuduhan itu ditujukan kepada agama Kristen yang telah meneror kaum minoritas Yahudi dan merampas kemerdekaan berpikir dan berkehendak mereka. Konflik antara ilmu dan krisitianitas adalah sebuah kepingan sejarah yang dilumuri darah dimana banyak sekali orang yang digiring ke tiang gantungan karena dituduh membangkang terhadap gereja . Dalam konflik itu, Kristianisme merupakan pihak yang kalah dan pihak yang menang, kaum sekuler, kemudian mengutuk Kristianitas dengan lonceng, buku, dan lilin.

Para pemikir dan penulis-penulis Barat rupanya telah salah mengira, bahwa apa yang dilakukan oleh agama Kristen itu (tepatnya lembaga gereja) adalah sesuatu yang khas dari sebuah agama lalu mereka menarik kesmpulan bahwa agama lain sama-sama intolerannya pula. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa agama – dan setiap agama, tentunya – selalu mengobarkan intoleransi dan fanatisme, maka dengan demikian tak ada tempat untuk agama di dunia yang beradab ini. Setiap usaha untuk menghidupkan agama selalu dicap sebagai fanatik, bahkan sampai sekarang praktek itu (mencap fanatik) sering terjadi.

Para pengecam Islam di Barat, demikian pula kaum sekularis dan komunis di negeri kita sendiri, berusaha melemparkan tuduhan itu kepada Islam selama beberapa tahun terakhir ini secara masif. Jika ada seminar ilmiah yang membahas tentang peran Islam dalam peradaban dan negara Islam, bukannya membahas hal tersebut dan mengkajinya secara obyektif, mereka segera saja melancarkan tuduhan bahwa agama adalah intoleran. Hal itulah yang mendorong kami untuk mengkaji maksud dan arti dari tuduhan tersebut melalui esai ini agar kami bisa menelaahnya secara obyektif.

Kami percaya bahwa tuduhan yang menyatakan bahwa agama menimbulkan intoleransi adalah lemah dan tidak berdasar. Andai kata benar bahwa agama adalah satu-satunya sumber intoleransi, logikanya dengan majunya sekularisme dan komunisme maka kasus-kasus intoleransi yang selama ini ada seharusnya hilang dari muka bumi. Akan tetapi faktanya tidaklah demikian. Masyarakat tidak akan lupa akan intoleransi dan fanatisme besar-besaran yang terjadi di zaman kita saat ini – abad pencerahan dan peradaban yang maju ini! Mereka tak mampu menyembunyikan kejahatan di masa lalu dari fakta-fakta yang ada sekarang. Hal itu bukan saja sebentuk penipuan, tetapi sesuatu yang salah dan absurd .

Saya pun yakin bahwa pengalaman semua agama dalam hal ini tidaklah bisa disamaratakan. Sejarah Islam mengandung perbedaan yang sangat signifikan dengan sejarah gereja di Barat. Walau di Barat sekalipun, sikap terhadap gereja ortodoks sangat berbeda jika dibandingkan dengan sikap terhadap gereja Katolik.

Selain itu, setiap usaha penggunaan kekuasaan atau meninggalkan tradisi tertentu dari demokrasi tidak perlu dilakukan secara intoleran. Masalah ini menuntut sebuah perenungan yang tenang dan pemikiran yang mendalam.

Inilah alasan utama saya saat menyusun esai ini, dimana saya berusaha untuk menyajikan penjelasan yang kuat dari apa yang saya kemukakan ini. [libridiary]


Saaba, September 2016

You Might Also Like

0 comments