Kunjungan ke Toko Buku Braga di Luwuk
Tuesday, May 07, 2013
Langit malam kota Luwuk tampak berwarna abu-abu, pertanda
mendung yang membawa rintik-rintik air hujan akan segera turun. Udara terasa
pengap dan panas. Hembusan angin yang kadang lewat tak bisa melunturkan rasa
gerah yang kadung tumpah.
Maka jadilah malam ini saya mengisi pos pembawa acara dalam
sebuah resepsi pernikahan kemenakannya istri dari teman saya di Kampung Tengah,
Pelita. Pesta yang sederhana, cukup meriah, dan, sebagaimana yang saya bilang
di awal, pengap dengan asap rokok, bau parfum level warung kelontong, dan aroma
minyak angin.
Setelah berbasibasa dengan teman yang meminta saya untuk
jadi pembawa acara, saya pun pulang. Ketika melewati sekitaran SD Bayangkara, di
seberang sekolah itu, mata saya menangkap sebuah papan nama bertuliskan TOKO BRAGA
yang tertutup rimbun pohon jeruk. Saya juga melihat secara sekilas ada beberapa
rak berisi buku. Jangan-jangan itu toko buku, batin saya. Tapi, benarkah toko
buku? Di Luwuk? Kombinasi yang cukup mustahil bagi saya karena ada sebuah toko
buku di kota kecil ini. Andai bukan karena rasa penasaran yang menjerat, saya
pasti akan melewati simpang lima di Polres dan terus mengarah ke kilo satu. Tapi
saya kadung terjerat dengan rasa penasaran akan plang bertuliskan TOKO BRAGA
dan rak-rak berisi bukunya. Maka ketika saya sampai di simpang lima polres, saya
langsung berpikir untuk balik arah dan mengambil ke arah kiri lalu mengambil
jalan lorong yang tembus di depan rumah dinas Kapolres, kemudian melewati
pertigaan Akper Luwuk, dan belok ke kiri. Mengulangi rute yang belum ada dua
menit lalu telah saya lewati.
Setelah berada di depan gerbang rumah tempat plang TOKO
BRAGA itu berada, saya memutuskan untuk masuk ke dalam. Di dalam bangunan yang
agak temaram itu, saya mendapati seorang lelaki muda berdarah Tionghoa berwajah
cerdas, berkacamata, dan tingginya lebih kurang seratus tujuh puluh delapan
sampai seratus delapan puluh sentimeter. Namanya Alex. Dia adalah pengelola
toko ini.
Ternyata memang benar, tulisan di papan nama itu bertuliskan
TOKO BRAGA - nama yang menurut saya cukup eksentrik, karena mungkin hanya segelintir orang yang cukup ngeh dengan nama kota di Portugal atau nama jalan di Bandung itu. Sebuah toko buku di Luwuk. Absolutely surprising! Maka jadilah kunjungan
yang awalnya saya niatkan hanya untuk melihat-lihat, berakhir nyaris tiga jam
kemudian andai salah satu dari kami tak kuat menahan mulutnya untuk menguap. Toko
ini berisi belasan rak kayu yang terisi dengan ribuan komik, buku novel serta
cerpen, majalah-majalah lama, dan cerita silat Cina yang telah banyak
disinggahi debu. Di bagian teras ada tiga buah lemari kayu besar berisi
buku-buku novel, manajemen, religi, serta buku-buku bertema serius. Sementara di
sisi kiri terdapat banyak majalah-majalah Sarinah, Kartini, Intisari yang
umurnya mungkin sudah lebih tua dari saya. Dan di bagian dalam ada ribuan komik
serta buku-buku lain.
Awalnya saya berbasa-basi dengan menanyakan beberapa judul
buku serta menyebutkan beberapa nama pengarang. Sambil berputar mengelilingi
lemari-lemari kayu, saya dan Alex berbicara cukup banyak soal beberapa judul
buku yang kami sebutkan. Tak beberapa lama, ibu Alex yang sedari awal
memperhatikan saya, pun muncul dari dalam rumah. Namanya Keng Siu Lian. Beliau mungkin
kaget, ada orang gemuk berbaju batik dan bersepatu serta berpeci datang ke toko
bukunya malam-malam dan tampak asyik ngobrol dengan putra, yang belakangan saya
tahu, bungsunya itu.
Kunjungan semalam pun molor karena obrolan kami bertiga di
teras depan soal buku dan dunia literasi di Luwuk. Saya banyak mendapat cerita
menarik dari Alex perihal pengalamannya membuka usaha penjualan dan peminjaman
buku di Luwuk, sesuatu yang menurut saya sangat heroik di tengah minat baca
yang sangat rendah di daerah ini. Juga keprihatinan kami soal kondisi dunia
perbukuan di Luwuk yang sangat lesu, padahal daerah ini memiliki banyak sekali
potensi penulis, bahkan salah satunya pernah membuat buku best seller. Tapi menaikkan
libido membaca memang butuh tantangan tersendiri ketika membaca buku belum
menjadi kebutuhan pokok bagi kebanyakan warga di sini.
Ada banyak cerita yang saling kami tukarkan semalam. Soal harga
jual buku di Luwuk yang mustahil murah karena masalah ongkos kirim, cerita lucu
tentang mahasiswa yang tidak bisa membedakan komik dan novel, serta
cerita-cerita lain soal buku. Kami pun setengah berjanji untuk membuat komunitas
pembaca di Luwuk. Atau setidaknya bikin ajang kumpul-kumpul buat orang-orang di
Luwuk yang suka membaca dan mengoleksi buku, buku apapun. Termasuk kumpul-kumpul
dengan penulis buku dari Luwuk serta awak media yang peduli dengan dunia
literasi di kota yang berada di bibir teluk ini.
Pertemuan semalam menyimpan banyak kesan buat saya, termasuk
menyuntikkan energi baru yang meluap-luap untuk terus menyebarkan semangat
membaca di tengah-tengah masyarakat di kota ini. Sebuah pertemuan langka yang,
jujur saja, kerap saya rindukan selama enam tahun berada di Luwuk.
Sebelum pulang, saya menyempatkan diri untuk membeli satu
buah buku karangan John Grisham berjudul The Broker. Sesampai di rumah, saya
menceritakan alasan molornya kepulangan saya dari acara resepsi pernikahan kepada
istri saya mengenai toko buku dan peminjaman komik yang baru saja saya datangi.
Cerita yang membuatnya tertarik untuk meminta saya mengajaknya ke toko buku itu
lagi siang ini. Insya Allah.
Sayang, semalam saya lupa mengambil gambar toko ini karena
baterai handphone lawas saya sudah di titik nadir. [perpustakaanpribadiku.blogspot.com]
Kilongan, Mei 2013
1 comments
Sedikit koreksi, bukan SD Bhayangkara tapi TK Bhayangkari, sekolah saya dulu :)
ReplyDeleteDulu saya sering meminjam buku di toko ini. Terutama buku-buku Hercule Poirot. Saya suka dengan buku-buku lawasnya. Kesan vintage-nya dapat. Apalagi kalo liat majalah-majalah kuno yang dulu pernah saya baca ketika masih SD. Intisari salah satunya.
Sudah lama tidak berkunjung kesana lagi. Takut sama anjingnya yang segede gaban (alasan pembenaran daripada bilang 'tidak punya waktu')