Jalan Sunyi Sang Munsyi

Monday, April 25, 2016




Oleh: Wahid Nugroho

Jika ada buku yang bisa dibilang menjengkelkan pembacanya, dan sudah pasti penulisnya pula, Bahasa Menunjukkan Bangsa yang ditulis oleh Remy Sylado dengan pseudonimnya Alif Danya Munsyi alih-alih salah satunya. Setelah puas melahap 111 Kolom Bahasa Kompas yang disunting oleh Salomo Simanungkalit, bacaan seputar kajian bahasa yang saya lahap selanjutnya adalah buku berdurasi 380an halaman ini.
Buku Bahasa Menunjukkan Bangsa merupakan kumpulan tulisan dari Remy Sylado ketika beliau didapuk sebagai pembicara dalam acara-acara bertema budaya maupun pendidikan. Dengan bahasan yang bernas, tekun, dan kaya data sejarah, ia mencoba untuk meluruskan kesalahkaprahan yang melanda sebagian besar orang Indonesia dalam berbahasa.
Di dalam buku ini, penulis mendaku dirinya sebagai seorang munsyi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, munsyi berarti  guru bahasa atau pujangga. Memang benar, selain berprofesi sebagai seniman dan penulis produktif, penulis menakrifkan munsyi sebagai inklinasi antara orang yang bersukacita dengan dunia bahasa dan karenanya ingin menghasilkan karya-karya yang kreatif bersamanya.
Singkatnya, Alif, atau Remy, merupakan seorang penikmat bahasa Indonesia. Dan karena alasan itulah, ia selalu berupaya mengenalkan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang cukup jarang dipakai dalam perbincangan di masyarakat. Kata-kata semisal dibya, nas, swabhawa, rengrengan, sreg, ajek, prayojana, kasad, tersua, muradif dan semacamnya berlamparan di sanasini. Ia juga termasuk disiplin dalam penggunaan kata-kata serapan semisal inklinasi, vokabuler, eksegesis, dan semisal itu dan menghindari sejauh-jauhnya penggunaan bahasa asing yang masih mentah kecuali jika tidak ditemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia.
Bisa dibilang, buku ini ditulis dalam nuansa geram, gemas, dan dongkol sekaligus. Bagaimana tidak? Sebagai penulis yang punya perhatian tinggi dengan bahasa, ia dengan tekun mempreteli kesalahpahaman dan kesalahkaprahan berbahasa yang tak hanya ditunjukkan oleh orang awam, bahkan oleh para pejabat dan tokoh-tokoh pembesarnya.
Buku ini juga penuh dengan ungkapan sarkasme sebagai muara dari kejengkelan dan kedongkolan itu. Dalam halaman 4, ia bahkan memelesetkan lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia menjadi Pusat Pembinasaan dan Pembingungan Bahasa Indonesia dikarenakan kurang gesitnya mereka dalam merespon perkembangan bahasa yang begitu cepat.
Pada bagian Fatsal Kembali ke Bahasa Asli (halaman 253), kegemasan itu ia tunjukkan kala melucuti penerjemahan alkitab secara serampangan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dengan memasukkan seabreg lema yang tidak padan dengan maksud aslinya. Penulis yang juga guru di sekolah teologi ini bahkan saking dongkolnya berujar bahwa “Maka melihat kesalahan-kesalahan itu, orang-orang LAI berlaku rendah hati, mengakui kesalahan. Tidak mengakui kesalahan adalah sikap iblis. Ini bukan persoalan pidana, tetapi dosa.”
Ia melanjutkan, “Maka Alkitab yang dibaca oleh umat yang berbahasa Indonesia perlu mengetahui inti pewartaan Alkitabiah itu dengan bahasa yang benar. Dalam meletakkan gagasan itu tidaklah berarti Alkitab sebagai suatu karya tranlasi berubah menjadi karya transkreasi yang membabi buta.”
Sebenarnya, ekspresi kegemasan dan kejengkelan ini bisa dibilang bertebaran di sekujur paginasi buku. Bahkan pada bagian awal, ia sudah menggugat kebiasaan orang Indonesia yang suka dengan kebiasaan berbicara sok nginggris sebagai sebuah penyakit yang menular dan harus dibasmi. Ia juga menggugat orang-orang yang diberikan wewenang untuk menjaga keaslian bahasa Indonesia yang masih malas mengindonesiakan kosakata-kosakata asing yang sudah menjadi bagian dari perbicangan sehari-hari dan memasukkannya ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia agar kata serapan itu menjadi sebuah kata baru yang Indonesia banget.
Dalam hal ini, ia memuji langkah pemerintah Malaysia yang bergerak cepat untuk mengakuisisi kata-kata asing menjadi kosakata Inggris-Melayu anyar sehingga membentuk sebuah kata yang Melayu banget. Kalau bicara soal ketinggalan, pemerintah negeri ini memang sudah jagonya sejak lama.
Bisa dibilang menjadi orang yang memiliki citarasa berbahasa tinggi di negeri ini bisa berisiko pada munculnya perasaan sedih, jengkel, dan muak sekaligus ketika mendapati kemalasan sebagian besar kita untuk memperlakukan bahasa Indonesia pada tempatnya yang terhormat. Apa yang dilakukan penulis untuk melestarikan keunikan dan kemurnian bahasa Indonesia seolah berada pada jalan sunyi seiring seraunya perhatian generasi penerus akan dunia kebahasaan dan keberaksaraan. Apa yang telah disampaikannya baik itu berupa kesedihan maupun kejengkelannya yang berlonggoklonggok di dalam buku ini kiranya bisa menjadi bahan renungan bagi para penikmat dan pemerhati bahasa, termasuk juga sastra sebagai anak kandung kesayangannya.
Jikalau ada hal-hal yang kurang berkenan di dalam buku itu, kiranya kita semua bisa maklum. Karena nama samaran sang penulis, Alif Danya Munsyi, yang seakan sudah menyuratkan posisinya yang megah di belantara kebahasaan nusantara, yang takrifnya kurang lebih Hakim dan Alim Bahasa Yang Utama.

Penulis adalah Dewan Pembina FLP Banggai. Kini tinggal di Tangerang.

You Might Also Like

0 comments