Perpustakaan Untuk Keluarga
Sunday, June 08, 2014
“Pukul enam pagi
adalah waktu masa mengaji Al Qu’ran,” kenang lelaki itu sembari
membayangkan suara merdu kakak sulungnya yang jernih dan menggema pada suatu
pagi kala mereka masih kecil dahulu.
“‘Pukul tujuh adalah
waktu belajar tafsir Al Qur’an dan Hadits; pukul delapan waktu belajar Fiqih
dan Ushul Fiqih.’ Itulah agenda harian rumah kita. Selanjutnya kita pun pergi
ke sekolah. Ada banyak buku di perpustakaan ayah. Kita telah sama-sama meneliti
buku-buku itu. Nama buku-buku tersebut dicetak dengan huruf-huruf berwarna
emas. Kadang kita meneliti kitab Naisabury; kitab Qasthalani; dan kitab Nailul Authar.
Ayah bukan hanya mengizinkan kita membaca kitab-kitab itu, tapi bahkan
mendorong kita untuk membacanya.” [Cinta di Rumah Hasan Al Banna hal. 9]
Lelaki yang saya maksud di atas adalah Abdurrahman Al Banna
saat mengenang masa kecilnya bersama sang kakak, Hasan Al Banna, pendiri jama’ah
Al Ikhwan Al Muslimun. Hasan Al Banna adalah kutu buku akut. Ia adalah pembaca
yang rakus tapi juga sekaligus pemilik hafalan yang sangat kuat dibarengi
dengan kemampuan menganalisa yang jenius. Berbicara tentang Hasan Al Banna maka
kita tidak hanya sedang membahas seorang tokoh yang menjadi pendiri organisasi
pergerakan Islam yang pengaruhnya meliputi lebih dari 90 negara termasuk
Indonesia, tapi kita juga akan berbicara tentang seorang lelaki yang memiliki
perhatian sangat kuat terhadap buku.
Bahkan dalam salah satu Wajibat Al Akh yang menjadi bagian
dalam Arkanul Baiat, beliau mewajibkan kepada anggota Ikhwan untuk “..pandai membaca dan menulis, memperbanyak
telaah terhadap Risalah Ikhwan, koran, majalah dan tulisan lainnya. Hendaklah engkau
bangun perpustakaan khusus, seberapa pun ukurannya”. Dari banyaknya aspek
positif yang saya dapatkan setelah membaca literatur-literatur tentang sisi
personal Hasan Al Banna, kajian tentang perhatiannya yang sangat besar dengan
dunia baca dan tulis menjadi daya tarik yang begitu berkesan bagi saya.
Beliau bahkan memberikan perpustakaan khusus bagi semua
putra dan putrinya serta mengalokasikan sejumlah uang untuk dibelikan buku.
Saiful Islam Al Banna, putra tertua beliau, berkisah tentang perhatian sang
ayah terhadap buku-buku yang dikonsumsi olehnya dan saudara-saudaranya yang
lain.
“Aku ingat suatu saat
ada sebagian buku-buku perpustakaan rumah yang dimasukkan ke kantor majalah Ash-Shihab.
Kemudian ayah membeli sejumlah buku lainnya untuk diletakkan di rumah. Bagian aku
dalam hal ini adalah mempunyai perpustakaan sederhana sendiri yang diberikan
ayah. Ayah juga memberikan uang tambahan setiap bulannya sebesar 50 qirsy
sebagai dana membeli buku agar bisa mengisi perpustakaanku itu” [Cinta di
Rumah Hasan Al Banna hal. 52]
Pada bagian yang lain, Saiful Islam juga berkisah tentang perhatian
sang ayah terhadap buku-buku komik dan roman cinta picisan yang sempat
dibacanya secara diam-diam saat masih remaja dulu.
“Ayah memberiku
beberapa buku antara lain buku cerita tentang pemimpin seperti kisah Antarah
bin Syadad, Saif bin Dzi Yazin, dan sejumlah kisah tokoh islam lainnya. Setelah
itu, ayah juga memberiku buku sirah Umar bin Abdul Aziz, juga beberapa buku
lain yang bermanfaat.” [Cinta di Rumah Hasan Al Banna hal. 58]
Perhatian Hasan Al Banna terhadap putranya Saiful Islam
merupakan ulangan sebagaimana yang dahulu pernah dilakukan oleh kakek Saiful, Syaikh
Ahmad Abdurrahman Al Banna, seorang ulama hadits yang memiliki koleksi buku
berlimpah, saat Hasan Al Banna masih kecil dulu. Maka tidak heran, ketika pola
pendidikan yang pernah diterapkan ayahnya itu kembali diterapkan kepada
putra-putrinya sendiri.
Salah satu putra Syaikh Ahmad, adik Hasan Al Banna, yang
bernama Jamal Al Banna menulis bahwa “Ketika
bersahabat dengan Syaikh Muhammad Zahran – Syaikh Muhammad Zahran merupakan
guru dari Syaikh Ahmad dan juga Hasan Al Banna sendiri – ayahanda sendiri sudah
memiliki semacam perpustakaan pribadi. Beliau sering menelaah banyak buku
tentang tafsir, hadis dan buku-buku referensi lainnya” [Lelaki Penggenggam
Kairo hal. 47].
Memiliki perpustakaan pribadi di rumah, yang juga bisa
dinikmati oleh semua anggota keluarga dan juga lingkungan di mana saya tinggal,
adalah salah satu ambisi terbesar saya. Ambisi
yang bermula dari mengumpulkan satu dua buku dengan menyisihkan sekian anggaran
belanja bulanan saya, yang sampai detik ini masih ditanggapi dengan geleng-geleng-kepala
dari ibu kandung dan ibu mertua saya sendiri. Itulah sebabnya pula sampai detik
ini saya tidak memiliki televisi, sebuah hal yang terdengar tidak lazim di
lingkungan saya, dan lebih memilih buku, majalah, dan bahan bacaan lainnya sebagai
“hiburan” bagi keluarga saya.
Menumbuhkan minat baca, utamanya di lingkungan keluarga,
memang tidak mudah. Ada proses yang terjal dan berliku di sepanjang perjalanannya.
Apa yang sudah dilakukan oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna dan putranya Hasan
Al Banna dengan menyediakan perpustakaan pribadi di rumah mungkin bisa
dijadikan semacam trigger bagi kita,
keluarga muslim yang menghendaki kebaikan untuk anak dan istri kita di masa
depan, untuk bisa mencontohnya secara perlahan dan bertahap. Semoga Allah
mudahkan kita menjalankannya. [perpustakaanpribadiku.blogspot.com]
Kilongan, Juni 2014
0 comments