Ada tempat tertentu di salah satu bagian rumah yang
dikhususkan untuk menyimpan buku-buku yang telah mewarnai pemikiran dan jalan
hidup saya: buku-buku tarbiyah. Letaknya ada di kamar paling belakang berukuran
kurang lebih 1.5 x 2 meter. Inilah tempat terhormat yang saya khususkan untuk
buku-buku karangan penulis yang lahir dari rahim Al Ikhwan Al Muslimun maupun
yang terpengaruh dengannya semisal Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Qardhawy,
Musthafa Masyhur, Muhammad Imarah, Hasan Hudaibi, Jumah Amin, Abdul Halim
Mahmud, Salman Audah, Fathi Yakan, Said Hawwa, Nashih Ulwan, An Nadwi, Al
Ghadban, Ahmad ar Rasyid, dan penulis-penulis lokal yang lahir dari rahim
komunitas tarbiyah seperti Rahmat Abdullah, Anis Matta, Eko Novianto, Ahmad
Dzakirin, Pak Cah, Tate Qomaruddin, dan lain-lain.
Buku-buku yang dikumpulkan satu demi satu sejak saya masih
sekolah itulah yang telah menjadi salah satu (atau salah banyak) harta paling
berharga yang akan saya wariskan untuk anak-anak saya kelak di samping
buku-buku lain yang ditempatkan di ruang tamu, dan, tentu saja, kitab suci yang
saya imani.
Sejak dua
tahun belakangan ini, hasrat saya untuk mengumpulkan buku-buku tarbiyah cetakan
lama begitu menggebu-gebu. Pertemanan dengan beberapa penjual buku online di
Facebook menjadi salah satu pemicunya. Saya berhasil mendapatkan buku yang berjudul
Tarbiyah Menjawab Tantangan. Sebuah buku yang sudah saya cari-cari sejak masih
SMA dulu.
Buku itu kali
pertama saya baca ketika masih kelas 1 SMA. Saya meminjamnya dari seorang teman
dan langsung jatuh cinta meski saya tidak terlalu mengerti dengan isinya. Saya sempat
memfotokopi buku itu waktu masih sekolah dulu, namun karena terlalu sering
dibaca, fotokopian itu jadi rusak dan beberapa halamannya sudah banyak yang
hilang.
Pencarian buku-buku
tarbiyah lawas juga mempertemukan saya dengan buku-buku Sayyid Quthb dan Hasan
Al Banna terbitan lama. Salah satu buku yang paling berharga adalah yang
dikarang oleh Ishak Mussa Al Husaini berjudul Ikhwanul Muslimun. Buku itu terbit
di Indonesia pada tahun 1983 dan memuat banyak sekali foto-foto yang baru saya
tahu tentang jamaah Al Ikhwan. Saya juga beruntung bisa mendapatkan buku
Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karangan M Zein Hassan Lc, sebuah
buku yang mendokumentasikan pertemuan delegasi Indonesia pada masa-masa awal
kemerdekaan ke beberapa negara Arab, termasuk pertemuan Haji Agus Salim dengan
Hasan Al Banna.
Soal buku
Diplomasi Revolusi itu saya punya catatan tersendiri. Sejak awal membaca
buku-buku sejarah ketika masih sekolah, saya bertanya-tanya kenapa justru
Mesirlah negara yang kali pertama mengakui kemerdekaan Indonesia? Saya sempat
bertanya kepada guru sejarah tapi jawabannya tidak memuaskan. Ketika saya
membaca buku Risalah Pergerakan Al Ikhwan Al Muslimun-nya Hasan Al Banna, saya
mendapati sub bab yang membahas tentang kaum muslim di Indonesia. Ketika menyingkronkan
tahun terbitnya tulisan itu dengan masa-masa persiapan kemerdekaan yang terjadi
di Indonesia, saya berfirasat bahwa pengakuan kemerdekaan Indonesia yang
dilakukan oleh Mesir ada campur tangan Hasan Al Banna dan jamaah Al Ikhwannya. Hal
itu terbukti dengan sebuah artikel yang diturunkan situs harakatuna beberapa
tahun yang lalu mengenai peran Al Ikhwan dalam masa-masa awal kemerdekaan
Indonesia. Sejak membaca artikel itu, saya bertekad untuk mencari buku Diplomasi
Revolusi tersebut. Alhamdulillah, akhirnya bisa bertemu juga.
Selain buku-buku
di atas, saya juga beruntung sekali bisa mendapatkan buku-buku lain seperti
Risalah Pergerakan Pemuda Islamnya Syaikh Mustafa Muhammad Thahan, Pembunuhan
Hasan Al Banna-nya Abdul Mutaal Al Jabari, Pengadilan Terhadap Ikhwanul
Muslimin karangan Syabab Pakistan, Geliat Dakwah di Era Baru – kumpulan tulisan
para asatidz tarbiyah Indonesia, serta sebuah buku Biografi Hasan Al Banna yang
ditulis oleh Anwar Al Jundy.
Pencarian buku-buku
tarbiyah cetakan lama ini sebenarnya berawal dari rasa penasaran saya dengan
sebuah kalimat yang kerap diulang-ulang tentang mihwar tanzhimi yang dimulai
pada akhir tahun 70 sampai awal tahun 80an. Saya lantas berpikir, jika memang
mihwar tanzhimi dimulai pada tahun-tahun tersebut, maka pasti diiringi dengan
penerbitan buku-buku tarbiyah di tahun yang sama. Apa yang saya duga itu
ternyata benar juga. Karena buku-buku tarbiyah itu dicetak pada medio tahun
1978 sampai dengan 1983. Malah saya berhasil mendapatkan buku novel Najib
Kailani, sastrawan yang berafiliasi ke Ikhwan, terbitan tahun 80an awal juga.
Ketika membaca
buku-buku tarbiyah cetakan lama itu, yang kadang dibubuhi tanda tangan, nama seseorang,
dan catatan dari sang pemilik lama, saya kerap membayangkan bagaimana pendapat
mereka tentang buku-buku tersebut. Apa kesan yang mereka dapatkan setelah
membaca buku itu di tengah serbuan liberalisasi agama yang juga tumbuh
berkembang di era yang sama. Para mahasiswa dan pelajar yang dahulu menjalankan
proses tarbiyah dengan cara sembunyi-sembunyi, bagaimana cara mereka
menyisihkan waktu untuk membaca buku-buku tersebut hingga akhirnya mereka tergugah
dan tergerak untuk melakukan sesuatu bagi umat, sampai detik ini.
Saya kadang
terpikir, buku-buku apa saja yang dimiliki dan dibaca oleh para asatidz
tarbiyah pada masa-masa awal keterlibatan mereka dalam komunitas tersebut, dan
buku apa yang berkesan mendalam bagi mereka hingga akhirnya mereka memutuskan
untuk menceburkan dirinya di dalam komunitas itu sampai sekarang. [wahidnugroho.com]
Kilongan,
September 2015