Mengenang Room To Read
Saturday, September 12, 2015
John Wood adalah mantan eksekutif Microsoft
untuk kawasan Asia. Sebagai seorang technopreneur yang memiliki kelebihan
finansial luar biasa, John kerap melakukan perjalanan keliling dunia ketiga
untuk sekedar menghilangkan kepenatan. Sebuah kejadian di Nepal membuat
kehidupan John berubah. Ia mendapati bahwa negeri yang indah itu ternyata
sangat miskin dan kondisi pendidikannya sangat memprihatinkan.
Sebagaimana kebiasaannya yang sudah-sudah, John
selalu membawa buku kemana saja ia pergi. Ketika Pasupathi, orang yang menjadi
guide John selama di Nepal, mengajaknya ke sebuah desa yang ada di pegunungan
Himalaya bernama Bahundanda, John mendapati sebuah fakta pelik mengenai betapa
memprihatinkannya sekolah yang ada di sana. Ketika John hendak melihat
perpustakaan sekolah, ia menemukan kondisi yang jauh lebih menyedihkan.
Perjalanannya ke Nepal dan kunjungannya ke
sebuah sekolah di desa Bahundanda seolah menjadi titik balik bagi seorang John
Wood, hatta ia telah menjadi seorang eksekutif di sebuah perusahaan teknologi kelas
dunia bernama Microsoft. Maka mulailah John mengirimkan email ke
sahabat-sahabatnya dan melakukan pengggalangan buku untuk Nepal. Beberapa tahun
kemudian, tahun 1999, John melembagakan impiannya ini menjadi Room To Read.
Sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada penyediaan buku-buku, peningkatan
kualitas pendidikan, dan kesetaraan gender dalam meraih pendidikan. Organisasi
ini sekarang berpusat di San Fransisco Amerika Serikat dan telah membangun
1.450 sekolah, 12.500 perpustakaan, menyediakan 10 juta lebih buku, dan 13
ribuan beasiswa jangka panjang untuk anak-anak di seluruh dunia.
Usai membaca buku itu, saya tertegun untuk
beberapa saat. Pikiran saya melanglang buana dan mulai memikirkan sesuatu untuk
melakukan hal yang, kurang lebih, sama dengan yang dilakukan oleh John meski
untuk skala Luwuk, tempat dimana saya tinggal saat ini. Saya punya beberapa
buku di rumah. Meski koleksi saya tidak terlalu banyak, dan kebanyakan
buku-buku yang bergenre berat lagi membosankan, namun ada keinginan agar
buku-buku ini bisa bermanfaat tidak hanya bagi saya sendiri. Maka mulailah saya
menulis sebuah rencana di buku catatan yang beberapa halamannya telah
dicorat-coret oleh ketiga putri saya itu. Rencana yang bermula dari sebuah buku
itulah yang kini telah mewujud sebagai, dengan segala kekurangannya, Rumah Baca
Jendela Ilmu.
Oleh karenanya, jika saya ditanya; kenapa harus
repot-repot membuat rumah baca? Maka jawaban yang akan saya berikan, salah
satunya, adalah: karena terinspirasi oleh buku Room To Read itu. Sehingga
ketika saya sedang berkunjung di sebuah toko buku online, saya mendapati buku
itu sudah berganti wajah meski tetap dirilis oleh penerbit yang sama. Tanpa pikir
panjang, saya langsung memesan dua buku itu untuk dua cabang rumah baca saya di
Luwuk. Saya berharap agar para pengelola, dan juga pengunjungnya, bisa
mendapatkan manfaat dan inspirasi dari pembacaan buku itu.
Semalam, ketika dalam perjalanan pulang bersama
istri, ia bercerita tentang kesulitan yang dialami oleh Rumah Baca Jendela Ilmu
(RBJI) chapter Mangkio yang nyaris tanpa publikasi. Tidak seperti RBJI chapter
Toili yang dikelola oleh sebuah komunitas, RBJI chapter Mangkio hanya dikelola
oleh sepasang suami istri. Saya memahami kesulitan finansial mereka yang
menyebabkan mereka tidak memiliki telepon berkamera sehingga bisa
mendokumentasikan kegiatan yang berlangsung di rumah baca. Saya lalu menawarkan
telepon berkamera milik saya yang sudah lama tidak dipakai. Telepon itu masih
berfungsi sangat baik dan bisa untuk mengambil foto meski kualitas gambarnya hanya
2 MP. Istri saya menyambut tawaran itu dan akan membicarakannya dengan Faida,
pengelola RBJI chapter Mangkio.
Beberapa jam sebelum obrolan bersama istri, saya
bertemu dengan ibu Masdia Lamondjong. Beliau adalah kepala sekolah SD
Muhammadiyah Balantak yang datang untuk ‘menagih’ janji saya memberikan
buku-buku untuk perpustakaan sekolahnya. Bu Masdia datang sekitar pukul
sembilan pagi ke kantor saya. Kedatangannya sekalian hendak melaporkan pajak
sekolahnya. Setelah menunggu beberapa saat sampai urusannya selesai, saya
akhirnya berbincang sebentar dengan beliau dan meminta foto bersama untuk
dijadikan dokumentasi. SD Muhammadiyah Balantak sendiri merupakan sekolah yang saya
– dan teman-teman dari komunitas Penyala Banggai, Pengajar Muda Indonesia,
serta para inspirator lintas profesi – datangi beberapa hari yang lalu dalam
rangka mengikuti acara Kelas Inspirasi Banggai #2 yang sengaja mengambil lokasi
di Balantak. Di samping itu, beliau pula yang menampung saya dan Rahmat, salah
satu peserta juga, di rumahnya selama kami berada di Balantak. Berpindahtangannya
buku-buku itu kepada ibu Masdia diiringi dengan lantunan doa supaya buku-buku
tersebut bisa bermanfaat buat anak-anak di sana.
Kembali ke soal Room To Read.
Pagi ini, di kamar mungil saya yang ada di
bagian paling belakang rumah, saya kembali membolak-balikkan buku itu. Saya
memandangi halaman-halamannya yang sudah banyak dicorat-coret, kertasnya yang terkena
noda, kovernya yang sudah lecek karena sering dipegang, dan menekuri sebuah
kalimat yang saya tulis di halaman muka buku itu yang berbunyi: “Pilihan terburuk
adalah tidak melakukan apa-apa.”
Saya tersengat. Negeri ini memang sedang bermasalah
di segala lini kehidupan. Namun memilih untuk berdiam diri dan hanya bisa
mengkritisi keadaan tidak akan membuat masalah itu menjadi berkurang dan
menemui jalan keluarnya. Rumah Baca Jendela Ilmu, dan beberapa usaha lain yang
bergerak dalam bidang garapan yang sama, mencoba untuk menjadi bagian dari
solusi dari masalah-masalah yang menggunung itu. Mungkin cahaya yang kami bawa
ini masih redup, masih rentan mati karena tiupan angin, dan karenanya daya
jangkau kami masih sangat terbatas. Tapi kami punya tekad yang kuat dan kami
memiliki orang-orang yang siap untuk memperjuangkan tekad itu menjadi nyata
meski harus mengorbankan apa-apa yang kami punya, merampas waktu-waktu kami
yang sudah terbatas, dan merubah renjis tawa menjadi wajah-wajah yang dipenuhi
optimisme di atas keprihatinan yang melanda bangsa ini.
Semoga. [mylibridiary]
Kilongan, September 2015
0 comments