Belajar Bahasa Asing Melalui Novel
Saturday, September 12, 2015
“Impossible to stop reading,” demikian
testimoni Observer terhadap buku ini. Dan memang, saya nyaris tidak bisa
berhenti membaca lembar demi lembar buku ini meski harus meluangkan waktu membacanya
di antara kesibukan yang ada. Tak jarang saya membawa buku ini ke kamar mandi
dan membacanya di sana. Saya juga selalu membawa buku ini di dalam tas kecil
yang memungkinkan saya dapat membacanya ketika ada sedikit waktu luang meski
sedang bepergian, baik dengan motor maupun dengan mobil.
Selling Hitler adalah buku yang ditulis oleh
Robert Harris yang terbit pada tahun 1985 silam. Buku reportase bergaya novel
ini sangat enak dibaca meski objek pembahasannya cukup berat. Di tangan Robert
Harris, misteri tentang keberadaan buku harian Adolf Hitler yang masih menjadi kontroversi
dikisahkan dengan begitu memikat dan mengundang rasa penasaran; seperti apa
kelanjutan kisah pencarian, sekaligus book fraud termahal ketika itu, yang penuh ironi namun jenaka ini akan berakhir. Sayangnya,
buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku yang saya miliki
adalah terbitan Arrow yang masih berbahasa Inggris. Andai ada, maka saya akan
jadi orang pertama yang akan membelinya.
Ngomong-ngomong soal buku Robert Harris
berbahasa Inggris, saya jadi teringat dengan peristiwa di bandara Adi Sucipto
Yogyakarta beberapa tahun yang lalu. Ceritanya saya hendak berangkat ke
Jakarta setelah menyelesaikan urusan
keluarga di Jogja selama beberapa hari. Sampai di bandara, saya membeli sebuah
buku di toko buku Periplus yang ada di bandara. Judulnya Fatherland. Itu adalah
novel debut Robert Harris sebelum dilanjutkan dengan sukses oleh novel-novel
karyanya belakangan seperti Enigma, The Ghost Writer, dan calon trilogi Cicero
yang semuanya sudah saya miliki. Saya sendiri sempat menulis sekilas tentang
penulis berkebangsaan Inggris itu di blog ini beberapa waktu yang lalu.
Setelah buku saya bayar, saya lalu membuka
segelnya dan mencari tempat duduk yang pas untuk membacanya. Suasana di lobi keberangkatan
bandara pagi itu lumayan ramai. Cuaca sangat cerah dan cenderung panas terik. Setelah
celingukan beberapa saat, saya akhirnya mendapatkan lokasi membaca yang menurut
saya nyaman. Saya pun mulai membaca buku berbahasa Inggris itu meski kemampuan
bahasa Inggris saya masih sangat cetek.
Di tengah-tengah aktivitas membaca, saya
dikejutkan dengan kedatangan seorang turis laki-laki dan seorang teman
perempuannya yang duduk tak jauh dari tempat saya membaca. Sekilas, saya merasa
ia sedang memperhatikan saya. Ketika pandangan kami bertemu secara tak sengaja,
ia pun melemparkan senyum kepada saya. Saya membalas senyumnya dan tiba-tiba ia
mendekatkan posisi duduknya kepada saya sambil menunjuk ke arah buku yang sedang
saya baca.
“Good book, good book, “ katanya dalam bahasa
Inggris beraksen.
“Yes, I just bought this book on that bookshop
a couple of minutes ago,” jawab saya dengan bahasa Inggris yang saya bisa.
Turis itu lalu memberikan isyarat kepada saya
sambil berkata, “No english. German.”
Benar dugaan saya. Aksennya yang aneh itu
ternyata berasal dari Jerman. Ia lalu kembali ke tempat duduknya semula sambil
kembali berkata, “good book, good book,” kepada saya, seolah hendak meyakinkan
saya bahwa buku yang sedang saya baca saat itu adalah benar-benar buku yang
bagus. Mungkin turis itu sudah pernah membaca buku ini sampai khotam, batin
saya.
Ketika pesawat yang hendak saya tumpangi ke
Jakarta sudah tiba dan para penumpang sudah dipanggil oleh announcer untuk
segera naik ke pesawat, saya lalu memasukkan buku itu ke dalam tas selempang
dan menyempatkan diri untuk melirik sebentar ke arah turis itu dan memberikan
isyarat hendak berpamitan. Turis itu melemparkan senyum kepada saya dan kembali
berbincang dengan teman perempuannya.
Lalu, kenapa harus membaca buku berbahasa Inggris
padahal saya sendiri belum terlalu mahir dengan bahasa asing itu kecuali dengan
beberapa kosakatanya yang terbatas? Mungkin alasan utamanya adalah untuk
belajar. Sebuah dorama Jepang berjudul Dragon Sakura yang pernah saya tonton
beberapa tahun yang lalu dalam sebuah episodenya berkisah tentang belajar
bahasa asing dengan cara yang menyenangkan. Jika dorama itu menggambarkan belajar
bahasa inggris secara menyenangkan melalui media lagu, yang juga pernah saya
lakukan ketika masih SMP dulu, saya mencobanya dengan media yang lain: buku. Utamanya buku-buku novel.
Buku berbahasa Inggris pertama yang saya baca
sampai selesai adalah Istanbul Memoar of The City yang ditulis oleh Orhan
Pamuk. Berlanjut ke buku Orhan Pamuk yang lain: Silent House. Meski banyak
bagian yang tidak saya mengerti, saya mencoba bertahan untuk terus membaca di
tengah godaan rasa kantuk dan bosan yang melanda. Buku Selling Hitler ini sendiri adalah buku nonfiksi berbahasa Inggris pertama yang saya baca dan sekarang sudah masuk ke halaman 100 lebih dengan ukuran font yang kecil dan spasi yang rapat.
Anis Matta bahkan pernah melakukan diet buku
berbahasa latin dan Indonesia ketika beliau hendak memperbaiki kualitas bahasa
arabnya dan hanya membaca buku-buku berbahasa arab saja selama setahun. Apa yang
saya lakukan ini, membacai buku-buku berbahasa Inggris, meski kemampuan saya di
bidang itu masih sangat terbatas, adalah sedikit ikhtiar saya untuk memperbaiki
kualitas berbahasa Inggris saya. Meski saat ini kemampuan berbahasa Inggris
bukan sebuah kebutuhan yang mendesak, siapa tahu suatu hari nanti akan berguna
buat saya. [mylibridiary]
Kilongan, September 2015
0 comments