Perpustakaan Untuk Keluarga
Friday, December 18, 2015
“Pukul
enam pagi adalah waktu masa mengaji Al Qu’ran,” kenang lelaki itu sembari
membayangkan suara merdu kakak sulungnya yang jernih dan menggema pada suatu
pagi kala mereka masih kecil dahulu.
‘Pukul tujuh adalah waktu belajar tafsir Al Qur’an dan Hadits; pukul
delapan waktu belajar Fiqih dan Ushul Fiqih.’ Itulah agenda harian rumah kita.
Selanjutnya kita pun pergi ke sekolah. Ada banyak buku di perpustakaan ayah.
Kita telah sama-sama meneliti buku-buku itu. Nama buku-buku tersebut dicetak
dengan huruf-huruf berwarna emas. Kadang kita meneliti kitab Naisabury; kitab
Qasthalani; dan kitab Nailul Authar. Ayah bukan hanya mengizinkan kita membaca
kitab-kitab itu, tapi bahkan mendorong kita untuk membacanya.’ [Cinta di Rumah Hasan Al
Banna hal. 9]
Lelaki
yang kumaksud
di atas adalah Abdurrahman Al Banna saat mengenang masa kecilnya bersama sang
kakak, Hasan Al Banna, pendiri jama’ah Al Ikhwan Al Muslimun. Hasan Al Banna
adalah kutu buku akut. Ia adalah pembaca yang rakus tapi juga sekaligus pemilik
hafalan yang sangat kuat dibarengi dengan kemampuan menganalisa yang jenius.
Berbicara tentang Hasan Al Banna maka kita tidak hanya sedang membahas seorang
tokoh yang menjadi pendiri organisasi pergerakan Islam yang pengaruhnya meliputi
lebih dari 90 negara termasuk Indonesia, tapi kita juga akan berbicara tentang
seorang lelaki yang memiliki perhatian sangat kuat terhadap buku.
Bahkan
dalam salah satu Wajibat Al Akh yang menjadi bagian dalam Arkanul Baiat, beliau
mewajibkan kepada anggota Ikhwan untuk “..pandai membaca dan menulis,
memperbanyak telaah terhadap Risalah Ikhwan, koran, majalah dan tulisan
lainnya. Hendaklah engkau bangun perpustakaan khusus, seberapa pun ukurannya”.
Dari banyaknya aspek positif yang kudapatkan setelah membaca literatur-literatur tentang sisi personal
Hasan Al Banna, kajian tentang perhatiannya yang sangat besar dengan dunia baca
dan tulis menjadi daya tarik yang begitu berkesan bagiku.
Beliau
bahkan memberikan perpustakaan khusus bagi semua putra dan putrinya serta
mengalokasikan sejumlah uang untuk dibelikan buku. Saiful Islam Al Banna, putra
tertua beliau, berkisah tentang perhatian sang ayah terhadap buku-buku yang
dikonsumsi olehnya dan saudara-saudaranya yang lain.
Aku ingat suatu saat ada sebagian buku-buku perpustakaan rumah yang
dimasukkan ke kantor majalah Ash-Shihab. Kemudian ayah membeli sejumlah buku
lainnya untuk diletakkan di rumah. Bagian aku dalam hal ini adalah mempunyai
perpustakaan sederhana sendiri yang diberikan ayah. Ayah juga memberikan uang
tambahan setiap bulannya sebesar 50 qirsy sebagai dana membeli buku agar bisa
mengisi perpustakaanku itu. [Cinta di Rumah Hasan Al Banna hal. 52]
Pada
bagian yang lain, Saiful Islam juga berkisah tentang perhatian sang ayah
terhadap buku-buku komik dan roman cinta picisan yang sempat dibacanya secara
diam-diam saat masih remaja dulu.
Ayah memberiku beberapa buku antara lain buku cerita tentang pemimpin
seperti kisah Antarah bin Syadad, Saif bin Dzi Yazin, dan sejumlah kisah tokoh
islam lainnya. Setelah itu, ayah juga memberiku buku sirah Umar bin Abdul Aziz,
juga beberapa buku lain yang bermanfaat. [Cinta di Rumah Hasan Al Banna hal.
58]
Perhatian
Hasan Al Banna terhadap putranya Saiful Islam merupakan ulangan sebagaimana
yang dahulu pernah dilakukan oleh kakek Saiful, Syaikh Ahmad Abdurrahman Al
Banna, seorang ulama hadits yang memiliki koleksi buku berlimpah, saat Hasan Al
Banna masih kecil dulu. Maka tidak heran, ketika pola pendidikan yang pernah
diterapkan ayahnya itu kembali diterapkan kepada putra-putrinya sendiri.
Salah
satu putra Syaikh Ahmad, adik Hasan Al Banna, yang bernama Jamal Al Banna
menulis bahwa “Ketika bersahabat dengan Syaikh Muhammad Zahran – Syaikh
Muhammad Zahran merupakan guru dari Syaikh Ahmad dan juga Hasan Al Banna sendiri
– ayahanda sendiri sudah memiliki semacam perpustakaan pribadi. Beliau sering
menelaah banyak buku tentang tafsir, hadis dan buku-buku referensi lainnya”
[Lelaki Penggenggam Kairo hal. 47].
Syaikh Muhammad Nur Abdul Hafiz Suwaid dalam bukunya yang berjudul
Prophetic Parenting menuliskan peran perpustakaan pribadi ini yang juga
diingatkan oleh Hasan Al Banna dalam risalahnya.
Juga saya sebutkan tentang pentingnya rumah
memiliki perpustakaan walau kecil sekalipun. Buku-buku koleksinya harus dipilih
berupa buku sejarah Islam, biografi ulama salaf, kitab-kitab akhlak, hikmah,
ekspedisi islam, peperangan, dan lain sebagainya. Kalau kotak obat-obatan dan
P3K di rumah penting untuk mengobati badan, maka perpustakaan Islam penting
untuk memperbaiki pola pikir. Orangtua harus berusaha menghalangi masuknya
buku-buku yang tidak bermanfaat dan koran-koran atau tabloid yang merusak anak
mereka. Ini dilakukan tidak dengan melarang dan mengancam, karena justru akan
membuat anak penasaran. Akan tetapi dengan mengarahkannya untuk mengonsumsi
buku-buku dan kitab yang bermanfaat dan menarik baginya.
Memiliki
perpustakaan pribadi di rumah, yang juga bisa dinikmati oleh semua anggota
keluarga dan juga lingkungan di mana aku tinggal, adalah salah satu ambisi
terbesarku. Ambisi yang bermula dari
mengumpulkan satu dua buku dengan menyisihkan sekian anggaran belanja bulananku,
yang sampai detik ini masih ditanggapi dengan geleng-geleng-kepala dari ibu
kandung dan ibu mertuaku sendiri. Itulah sebabnya pula sampai detik ini aku tidak
memiliki televisi di rumah, sebuah hal yang terdengar tidak lazim di lingkunganku,
dan lebih memilih buku, majalah, dan bahan bacaan lainnya sebagai “hiburan”
bagi keluargaku.
Menumbuhkan
minat baca, utamanya di lingkungan keluarga, memang tidak mudah. Ada proses
yang terjal dan berliku di sepanjang perjalanannya. Apa yang sudah dilakukan
oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna dan putranya Hasan Al Banna dengan
menyediakan perpustakaan pribadi di rumah mungkin bisa dijadikan semacam trigger bagi kita yang menghendaki
kebaikan untuk keluarga kita di masa depan, agar bisa mencontohnya secara perlahan dan bertahap. Semoga Allah mudahkan. [libridiary]
Desember 2015
0 comments