Oleh:
Wahid Nugroho
Jika ada buku yang bisa dibilang menjengkelkan pembacanya, dan sudah
pasti penulisnya pula, Bahasa Menunjukkan Bangsa yang ditulis oleh Remy Sylado
dengan pseudonimnya Alif Danya Munsyi alih-alih salah satunya. Setelah puas
melahap 111 Kolom Bahasa Kompas yang disunting oleh Salomo Simanungkalit,
bacaan seputar kajian bahasa yang saya lahap selanjutnya adalah buku berdurasi
380an halaman ini.
Buku Bahasa Menunjukkan Bangsa merupakan kumpulan tulisan dari Remy
Sylado ketika beliau didapuk sebagai pembicara dalam acara-acara bertema budaya
maupun pendidikan. Dengan bahasan yang bernas, tekun, dan kaya data sejarah, ia
mencoba untuk meluruskan kesalahkaprahan yang melanda sebagian besar orang
Indonesia dalam berbahasa.
Di dalam buku ini, penulis mendaku dirinya sebagai seorang munsyi. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, munsyi berarti guru
bahasa atau pujangga. Memang benar, selain berprofesi sebagai seniman dan
penulis produktif, penulis menakrifkan munsyi sebagai inklinasi antara orang
yang bersukacita dengan dunia bahasa dan karenanya ingin menghasilkan
karya-karya yang kreatif bersamanya.
Singkatnya, Alif, atau Remy, merupakan seorang penikmat bahasa Indonesia.
Dan karena alasan itulah, ia selalu berupaya mengenalkan kata-kata dalam bahasa
Indonesia yang cukup jarang dipakai dalam perbincangan di masyarakat. Kata-kata
semisal dibya, nas, swabhawa, rengrengan, sreg, ajek, prayojana, kasad, tersua,
muradif dan semacamnya berlamparan di sanasini. Ia juga termasuk disiplin dalam
penggunaan kata-kata serapan semisal inklinasi, vokabuler, eksegesis, dan
semisal itu dan menghindari sejauh-jauhnya penggunaan bahasa asing yang masih
mentah kecuali jika tidak ditemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia.
Bisa dibilang, buku ini ditulis dalam nuansa geram, gemas, dan dongkol sekaligus.
Bagaimana tidak? Sebagai penulis yang punya perhatian tinggi dengan bahasa, ia
dengan tekun mempreteli kesalahpahaman dan kesalahkaprahan berbahasa yang tak
hanya ditunjukkan oleh orang awam, bahkan oleh para pejabat dan tokoh-tokoh
pembesarnya.
Buku ini juga penuh dengan ungkapan sarkasme sebagai muara dari kejengkelan
dan kedongkolan itu. Dalam halaman 4, ia bahkan memelesetkan lembaga Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia menjadi Pusat Pembinasaan dan
Pembingungan Bahasa Indonesia dikarenakan kurang gesitnya mereka dalam merespon
perkembangan bahasa yang begitu cepat.
Pada bagian Fatsal Kembali ke Bahasa Asli (halaman 253), kegemasan itu ia
tunjukkan kala melucuti penerjemahan alkitab secara serampangan oleh Lembaga
Alkitab Indonesia (LAI) dengan memasukkan seabreg lema yang tidak padan dengan maksud
aslinya. Penulis yang juga guru di sekolah teologi ini bahkan saking dongkolnya
berujar bahwa “Maka melihat kesalahan-kesalahan itu, orang-orang LAI berlaku
rendah hati, mengakui kesalahan. Tidak mengakui kesalahan adalah sikap iblis. Ini
bukan persoalan pidana, tetapi dosa.”
Ia melanjutkan, “Maka Alkitab yang dibaca oleh umat yang berbahasa
Indonesia perlu mengetahui inti pewartaan Alkitabiah itu dengan bahasa yang
benar. Dalam meletakkan gagasan itu tidaklah berarti Alkitab sebagai suatu
karya tranlasi berubah menjadi karya transkreasi yang membabi buta.”
Sebenarnya, ekspresi kegemasan dan kejengkelan ini bisa dibilang
bertebaran di sekujur paginasi buku. Bahkan pada bagian awal, ia sudah
menggugat kebiasaan orang Indonesia yang suka dengan kebiasaan berbicara sok nginggris sebagai sebuah penyakit yang
menular dan harus dibasmi. Ia juga menggugat orang-orang yang diberikan
wewenang untuk menjaga keaslian bahasa Indonesia yang masih malas
mengindonesiakan kosakata-kosakata asing yang sudah menjadi bagian dari
perbicangan sehari-hari dan memasukkannya ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
agar kata serapan itu menjadi sebuah kata baru yang Indonesia banget.
Dalam hal ini, ia memuji langkah pemerintah Malaysia yang bergerak cepat
untuk mengakuisisi kata-kata asing menjadi kosakata Inggris-Melayu anyar
sehingga membentuk sebuah kata yang Melayu banget. Kalau bicara soal
ketinggalan, pemerintah negeri ini memang sudah jagonya sejak lama.
Bisa dibilang menjadi orang yang memiliki citarasa berbahasa tinggi di
negeri ini bisa berisiko pada munculnya perasaan sedih, jengkel, dan muak
sekaligus ketika mendapati kemalasan sebagian besar kita untuk memperlakukan
bahasa Indonesia pada tempatnya yang terhormat. Apa yang dilakukan penulis
untuk melestarikan keunikan dan kemurnian bahasa Indonesia seolah berada pada jalan
sunyi seiring seraunya perhatian generasi penerus akan dunia kebahasaan dan
keberaksaraan. Apa yang telah disampaikannya baik itu berupa kesedihan maupun
kejengkelannya yang berlonggoklonggok di dalam buku ini kiranya bisa menjadi bahan
renungan bagi para penikmat dan pemerhati bahasa, termasuk juga sastra sebagai
anak kandung kesayangannya.
Jikalau ada hal-hal yang kurang berkenan di dalam buku itu, kiranya kita
semua bisa maklum. Karena nama samaran sang penulis, Alif Danya Munsyi, yang
seakan sudah menyuratkan posisinya yang megah di belantara kebahasaan nusantara,
yang takrifnya kurang lebih Hakim dan Alim Bahasa Yang Utama.
Penulis adalah Dewan Pembina FLP Banggai.
Kini tinggal di Tangerang.