Dari Kesuma Ke Baca
Saturday, April 23, 2016
Oleh: Wahid Nugroho
Pendiri Rumah Baca Jendela Ilmu dan Inisiator
Gerakan Luwuk Membaca
Awalnya memang berupa kesuma mawar;
ketika para lelaki dari seantero kota Catalonia berburu mawar tercantik untuk
diberikan kepada kekasih mereka sebagai ungkapan cinta dalam perayaan hari
Saint George yang acap dilangsungkan pada tanggal 23 April Masehi setiap
tahunnya. Kondisi sekujur kota yang dilumuri dengan kelopak mawar aneka warna menjadi
pemandangan yang lazim saat perayaan itu usai dan malam bertukar pagi.
Ratusan tahun kemudian, tepatnya
pada tahun 1923, tradisi itu perlahan berganti ketika para wanita menukarkan
mawar-mawar yang mereka terima dengan buku sebagai penghormatan kepada sang
pujangga agung dari tanah Iberia, Miguel de Cervantes, yang wafat pada tanggal
yang sama dengan perayaan Saint George: 23 April. Para penjual buku di sana
mungkin merasa nelangsa saat memandangi nasib jutaan kelopak mawar yang layu keesokan
harinya usai cinta yang meluap-luap diungkapkan kepada sang belahan hati, dan
karenanya mereka berniat untuk merayakan hari bersejarah itu dengan cara lain:
menukarkan mawar dengan buku.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1925,
tradisi itu semakin menguat dan menjalari kota-kota lain di Spanyol. Jika awalnya
dimulai dari Catalonia, menyusul kota-kota besar lain di Eropa. Konon, pada
masa itu, tercatat nyaris setengah juta buku terjual di daratan Eropa yang merupakan
malih bentuk dari empat juta mawar yang diterima para wanita di sana.
Tujuh puluh tahun kemudian, berdasarkan
tradisi itu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui UNESCO, menetapkan
tanggal 23 April sebagai Hari Buku Sedunia. Pada tanggal itu pula, PBB menobatkan
Ibukota Buku Dunia kepada kota yang memiliki dedikasi dosis tinggi terhadap
dunia perbukuan dan budaya membaca yang kerap berubah setiap tahunnya. Jika di tahun
2015 kemarin, Incheon di Korea Selatan mendapatkan kehormatan sebagai Ibukota
Buku Dunia, maka pada tahun 2016 ini, takrim itu ditahbiskan kepada Wroclaw,
sebuah kota di barat daya Polandia.
Bicara soal angka 23, itulah tanggal
berdirinya Rumah Baca Jendela Ilmu di Luwuk. Tepatnya, 23 Juni 2014. Bukan 23 April, memang. Tapi sedikit
banyaknya, pemilihan tanggal itu memang berakar dari semangat yang terpancar
dari pendibyaan tanggal itu sebagai hari raya buku sejagat. Maka, telak dua
bulan setelah kota Port Harcourt di Nigeria dinobatkan sebagai Ibukota Buku
Dunia pada periode itu, Rumah Baca Jendela Ilmu memulai langkah kecilnya dalam
upaya penularan virus rakus membaca kepada khalayak, utamanya yang berada di
Kabupaten Banggai.
Kini, nyaris dua tahun kurang dua
bulan dari almanak tersebut, Rumah Baca Jendela Ilmu telah melebarkan sayapnya
di empat lokasi yang berbeda: Hanga-Hanga, Mangkio, Bukit Halimun, dan Toili. Rumah
Baca Jendela Ilmu turut pula dalam hajatan literasi berskala lokal seperti
Gerakan Luwuk Membaca, Literasi Luwuk, dan turut berpadu bersama Forum Lingkar
Pena Kabupaten Banggai serta mendistribusikan buku-buku dan bahan bacaan ke beberapa
wilayah yang ada di sekujur kabupaten Banggai.
Belakangan, Rumah Baca Jendela Ilmu
menjadi inisiator dalam program Books for Luwuk; sebuah program donasi buku
yang akan disalurkan kepada penggerak literasi yang tersebar di kabupaten
Banggai dan telah mendapatkan kepercayaan dari beberapa penaja dari seantero nusantara.
Rumah Baca Jendela Ilmu juga menjadi inspirator lahirnya gerakan literasi
sejenis di kabupaten tetangga semisal Banggai Laut dengan Gerakan Banggai
Membaca dan Poso dengan Komunitas Baca Poso-nya.
Langkah kecil yang menapaki jalan
sunyi itu kini perlahan mulai tumbuh riuh. Rumah Baca Jendela Ilmu dengan
kapasitasnya yang masih sangat terbatas membuka diri seluas-luasnya kepada
komunitas literasi lokal yang ada di Luwuk untuk bersama menjalin asa demi
terciptanya generasi mendatang yang tidak hanya cakap beraksara tapi juga mampu
menjadi cadangankeras daerah dalam menjemput takdir kemajuannya di masa
mendatang. Sebuah kerja berat yang membutuhkan peran serta dari pelbagai pihak,
pastinya.
Namun demikian, Rumah Baca Jendela
Ilmu hendak mengucapkan rasa syukur penuh ketulusan kepada para penaja dan
penyokong yang telah mendermakan baik materi, tenaga, maupun waktu mereka demi
keberlangsungan gerakan ini. Semoga apa yang telah mereka dermakan mendapatkan
sebaik-baik balasan dari Sang Mahakuasa.
Dalam momen ‘hari raya buku’ yang
kudus ini, setanding dengan judul di atas, izinkan kami mengidungkan kembali
sebuah ujaran dari penulis buku yang menyandingkan mawar dengan buku bertajuk
Il Nome della Rosa, The Name of Rose, signore Umberto Eco, mengenai
ekstasenya bahwa, we live for books; kita hidup demi buku- buku!
Selamat merayakan Hari Buku Sedunia
bagi yang menjalankannya. [libridiary]
0 comments