Libridiary: The Holocaust Industry
Wednesday, November 23, 2016
Norman
Gary Finkelstein adalah seorang Amerika keturunan Yahudi. Ia juga
doktor jebolan Princeton University. Ibunya adalah Yahudi Polandia, dan
di masa Perang Dunia ke 2, ia pernah tinggal di Warsaw Ghetto dan
dipekerjakan di Kamp Konstentrasi Majdanek. Ayahnya juga seorang aktivis
sosialis Yahudi, Hashomer Hatzair. Sama halnya dengan sang ibu, ayahnya
juga pernah tinggal di Warsaw Ghetto dan dikerjapaksakan
di Kamp Konsentrasi Auschwitz. Dengan latar belakang Yahudinya yang
kuat, adalah sangat mengherankan jika Mr. Finkelstein menulis buku yang
justru mencoreng citra Yahudi ini.
Sebagaimana halnya kita tahu bersama, kebebasan berpendapat ibarat Tuhan di dunia Barat. Bagi mereka, mengkritik Tuhan, Nabi, dan agama adalah hal yang biasa. Bahkan menjadikannya sebagai objek guyonan pun bukan masalah bagi mereka. Kita ingat dengan peristiwa karikatur Nabi yang pernah dirilis oleh sebuah media di Swedia, dimana mereka melakukannya dengan dalih kebebasan berpendapat.
Tapi ketika kebebasan berpendapat itu berbenturan dengan holocaust, maka spontan dunia Barat akan bersikap lain. Bagi mereka, yang berkepentingan, holocaust dianggap lebih tinggi posisinya dari Tuhan dan lebih suci dari kitab suci. Sampeyan boleh bicara semelantur apapun tentang Tuhan dan agama, tapi tidak dengan holocaust.
Sejarah mencatat bahwa korban pembungkaman kebebasan berekspresi seputar holocaust ini lumayan banyak. Di antara nama-nama yang terkenal adalah Manfred Rouder, Fred Louchter, Frederick Toben, Bruno Gelinsh, Robber Fidson, termasuk Presiden Iran terdahulu, Mahmoud Ahmadinejad. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena tekanan yang begitu besar dari media dan komunitas Yahudi seperti German Rodef karena menulis buku Dissection Holocaust.
Penulis buku ini kemudian menapaki jalan yang sebelumnya telah dilalui oleh orang-orang tersebut: mempertanyakan keabsahan holocaust, bahkan, lebih jauh, ia juga mengkritik penggunaan peristiwa yang nyaris tidak masuk akal itu dengan mengatakan bahwa isu playing-victim tersebut dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka. Iya, pembantaian enam juta jiwa Yahudi yang dilakukan oleh Nazi di bawah kendali Adolf Hitler dinilai oleh buku ini sebagai sebuah asumsi sejarah yang tidak didasarkan fakta, bahkan berlawanan dengan akal sehat. Dengan argumentasi yang tajam dan didukung oleh data-data yang kuat, Mr. Finkelstein melakukan kritik atas sesuatu yang selama ini sacred, bahkan tabu untuk dikulik lebih dalam, oleh sebagian masyarakat Barat.
Playing victim adalah sebuah metode khas Yahudi. Dimana mereka selalu memposisikan dirinya sebagai korban dari ketidakadilan, melakukan framing yang kuat di ruang publik bahwa mereka harus dikasihani dan diberi simpati, dan karenanya mengambil keuntungan dari persepsi publik yang muncul dari situasi itu meski dengan cara mengorbankan pihak lain. Penjajahan Palestina salah satunya. Metode Playing victim ini pula yang terjadi pada simpatisan Partai Komunis Indonesia pasca tragedi 1965 dimana setelah era reformasi dan kran kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya, mereka mulai memposisikan diri sebagai korban yang patut dikasihani karena kekejaman rezim Orde Baru. Adapun pembantaian mereka terhadap para ulama dan rakyat pada medio pra 1965 perlahan dilupakan dan diskursus tentangnya mulai dikurangi di ruang publik. Semacam operasi cuci tangan.
Jadi, kalau akhir-akhir ini kita menemui ada pihak yang memposisikan dirinya sebagai korban, playing victim, padahal sebelumnya ia sudah berbuat kerusakan karena ketidakmampuannya menahan lisan, maka, berdasarkan pembacaan terhadap buku ini dan pertimbangan akal sehat serta berkaca pada sejarah negeri kita sendiri, kita bisa berkesimpulan bahwa ada sesuatu yang ditargetkan dari operasi playing victim tersebut. Targetnya apa? Silakan sampeyan analisa sendiri.[libridiary]
Meruya, November 2016
Sebagaimana halnya kita tahu bersama, kebebasan berpendapat ibarat Tuhan di dunia Barat. Bagi mereka, mengkritik Tuhan, Nabi, dan agama adalah hal yang biasa. Bahkan menjadikannya sebagai objek guyonan pun bukan masalah bagi mereka. Kita ingat dengan peristiwa karikatur Nabi yang pernah dirilis oleh sebuah media di Swedia, dimana mereka melakukannya dengan dalih kebebasan berpendapat.
Tapi ketika kebebasan berpendapat itu berbenturan dengan holocaust, maka spontan dunia Barat akan bersikap lain. Bagi mereka, yang berkepentingan, holocaust dianggap lebih tinggi posisinya dari Tuhan dan lebih suci dari kitab suci. Sampeyan boleh bicara semelantur apapun tentang Tuhan dan agama, tapi tidak dengan holocaust.
Sejarah mencatat bahwa korban pembungkaman kebebasan berekspresi seputar holocaust ini lumayan banyak. Di antara nama-nama yang terkenal adalah Manfred Rouder, Fred Louchter, Frederick Toben, Bruno Gelinsh, Robber Fidson, termasuk Presiden Iran terdahulu, Mahmoud Ahmadinejad. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena tekanan yang begitu besar dari media dan komunitas Yahudi seperti German Rodef karena menulis buku Dissection Holocaust.
Penulis buku ini kemudian menapaki jalan yang sebelumnya telah dilalui oleh orang-orang tersebut: mempertanyakan keabsahan holocaust, bahkan, lebih jauh, ia juga mengkritik penggunaan peristiwa yang nyaris tidak masuk akal itu dengan mengatakan bahwa isu playing-victim tersebut dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka. Iya, pembantaian enam juta jiwa Yahudi yang dilakukan oleh Nazi di bawah kendali Adolf Hitler dinilai oleh buku ini sebagai sebuah asumsi sejarah yang tidak didasarkan fakta, bahkan berlawanan dengan akal sehat. Dengan argumentasi yang tajam dan didukung oleh data-data yang kuat, Mr. Finkelstein melakukan kritik atas sesuatu yang selama ini sacred, bahkan tabu untuk dikulik lebih dalam, oleh sebagian masyarakat Barat.
Playing victim adalah sebuah metode khas Yahudi. Dimana mereka selalu memposisikan dirinya sebagai korban dari ketidakadilan, melakukan framing yang kuat di ruang publik bahwa mereka harus dikasihani dan diberi simpati, dan karenanya mengambil keuntungan dari persepsi publik yang muncul dari situasi itu meski dengan cara mengorbankan pihak lain. Penjajahan Palestina salah satunya. Metode Playing victim ini pula yang terjadi pada simpatisan Partai Komunis Indonesia pasca tragedi 1965 dimana setelah era reformasi dan kran kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya, mereka mulai memposisikan diri sebagai korban yang patut dikasihani karena kekejaman rezim Orde Baru. Adapun pembantaian mereka terhadap para ulama dan rakyat pada medio pra 1965 perlahan dilupakan dan diskursus tentangnya mulai dikurangi di ruang publik. Semacam operasi cuci tangan.
Jadi, kalau akhir-akhir ini kita menemui ada pihak yang memposisikan dirinya sebagai korban, playing victim, padahal sebelumnya ia sudah berbuat kerusakan karena ketidakmampuannya menahan lisan, maka, berdasarkan pembacaan terhadap buku ini dan pertimbangan akal sehat serta berkaca pada sejarah negeri kita sendiri, kita bisa berkesimpulan bahwa ada sesuatu yang ditargetkan dari operasi playing victim tersebut. Targetnya apa? Silakan sampeyan analisa sendiri.[libridiary]
Meruya, November 2016
0 comments