20 Buku Yang Memengaruhi Hidup 2012-2016
Saturday, December 24, 2016
Lima tahun yang lalu saya membuat daftar berisi 20 buku yang memengaruhi hidup selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan 2011 di sini. Sekarang, di penghujung tahun 2016 masehi, saya ingin melakukan hal yang sama lagi tapi untuk kurun waktu 2012-2016.
Saya akui, ada banyak perubahan dari pola baca saya selama kurun waktu empat tahun terakhir ini. Buku-buku yang saya kumpulkan dan baca itu bisa dibilang mengalami konvergensi pada tema-tema tertentu. Ini mungkin terkait dengan banyak aspek yang turut memengaruhi perjalanan hidup saya selama kurun waktu itu mulai dari bertambahnya jumlah anak, bertambahnya pengalaman hidup, dan peristiwa demi peristiwa yang terjadi di sekitar saya.
Ditambah lagi, saya merupakan tipe orang yang suka mencari jawaban atas pertanyaan yang berkelindan di kepala dari buku. Biasanya, ketika saya sedang ingin mencari tahu tentang sebuah tema, maka saya akan berselancar di dunia maya dan mencari buku yang tepat dengan tema yang saya maksud. Kadang saya mengumpulkan beberapa buku untuk satu tema, semisal buku-buku tentang sejarah kenabian, atau buku-buku tentang sejarah Turki Ustmani, dan kajian-kajian parenting. Belakangan, yang dimulai pada tahun 2012, saya mulai mengumpulkan buku-buku tentang Cultural Studies, kajian media, dan buku-buku pemikiran keislaman.
Sebagaimana daftar yang saya buat sebelumnya, maka daftar kali ini juga saya buat secara acak, tidak berurutan, dan saya sertakan kesan-kesan singkat saya terhadap buku yang dimaksud. Saya juga tidak memisahkan antara yang fiksi dan nonfiksi.
Satu. Islam Lawan Fanatisme dan Intoleransi oleh Khursyid Ahmad.
Saya sempat membahas buku ini di blog ini. Saya juga melakukan penyalinan dari naskah yang lama, memperbaiki istilah-istilah yang sulit dipahami dan menambahkan catatan kaki. Awalnya, saya tidak tahu kalau buku ternyata ada cetakan dari penerbit lain. Adalah seorang penjual buku daring di linimasa media sosial saya yang kemudian memposting buku ini yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Bandung ini dengan judul Islam dan Fanatisme dan membanderolnya dengan harga yang sangat murah. Tanpa pikir panjang, buku itu langsung saya beli. Ternyata, dibandingkan dengan yang cetakan lama, buku dengan judul Islam dan Fanatisme ini lebih nyaman dibaca meski tidak memuat penjelasan dan catatan kaki yang memadai. Semoga rencana penyalinan dan upaya melengkapi salinan itu dengan catatan kaki dan penjelasan singkat bisa segera saya tuntaskan.
Dua. Gadis Jeruk oleh Jostein Gaarder.
Penjelasan tentang buku ini juga sudah saya tulis secara singkat di blog ini.
Tiga. Istanbul oleh Orhan Pamuk
Kalau boleh jujur, saya ingin berkata bahwa saya cenderung lebih suka tulisan nonfiksi Pamuk ketimbang tulisan-tulisan fiksinya. Ada sesuatu yang begitu sendu dan intim dari tulisan-tulisan nostalgianya yang tersebar di buku-buku nonfiksinya. Salah satu tulisan yang paling saya suka adalah ketika ia menggambarkan kematian ayahnya dalam buku nonfiksinya yang berjudul Other Colors. Membaca tulisan itu saya serasa sedang membaca kisah hidup saya sendiri.
Empat. Room To Read oleh John Wood.
Buku ini juga sudah saya singgung sedikit di blog ini.
Lima. 111 Kolom Bahasa Kompas
Ini adalah buku yang sangat menarik dan membuat saya betah membacanya lama-lama. Saya bahkan mengulang-ulang beberapa bagiannya karena saking keasyikan membacanya. Bagi para penggemar utak-atik-gatuk dunia perbahasaan, yang peduli dengan perkembangan bahasa dan penikmat kajian linguistik populer, buku ini rasanya tepat untuk dimiliki dan dikaji.
Enam. Jalan Tak Ada Ujung
Jauh sebelum membaca buku ini, saya sudah membaca Catatan Subversif karya mendiang wartawan bertubuh tinggi besar ini. Dari semua buku Mochtar Lubis, baik yang fiksi maupun nonfiksi, novel tipis ini adalah favorit saya.
Tujuh. Ghirah oleh Buya Hamka.
Kaum muslimin yang dayuts, yang sudah hilang rasa cemburu terhadap agamanya, perlu kiranya membaca buku ini. Buku mungil yang bertenaga ini, yang rasanya bisa dilahap habis sekali duduk ini, benar-benar telah mencambuk kemalasan pikir dan kebancian bersikap para muslim ambigu yang kelewat percaya sabda media tenimbang sabda NabiNya, para muslim peragu yang tidak bernyali menampakkan keberislamannya yang lembut dan santun tapi bermartabat dan menjaga harkat di tengah-tengah umat yang sedang diombangambingkan keyakinannya, para muslim yang hatinya sudah beku, mati, dan berdaki karena malasnya mereka membaca, mengaji, dan mengkaji agamanya sendiri dengan hati bersih, jiwa tulus, dan pikir halus.
Delapan. Negeri Tanpa Laki-Laki oleh Eko Novianto
Meski kurang terlalu suka dengan desain sampul dan perwajahan isinya, yang juga sudah saya sampaikan secara langsung kepada penulisnya, buku ini membuat saya banyak merenung tentang posisi dan fungsi seorang laki-laki di dalam keluarga. Sebagai kepala dari dua keluarga (karena bapak saya sudah lama meninggal), buku ini semacam membantu saya menemukan sesuatu dalam diri saya yang selama ini saya kesulitan mendapatkannya. Tadinya saya mau pilih Engkaulah Matahariku, tapi akhirnya pilihan jatuh pada buku ini.
Sembilan. The Ghost Writer oleh Robert Harris.
Novel yang wajib dibaca sampai halaman terakhir. The Ghost Writer berkisah tentang seorang penulis bayangan yang mendapat tugas untuk menulis biografi seorang perdana menteri Inggris yang diliputi kontroversi karena mendukung invasi negaranya ke Iraq. Kebetulan saya mengoleksi semua novel karya Robert Harris kecuali novel terbarunya, Dictator, yang merupakan seri pamungkas dari trilogi Cicero.
Sepuluh. Gelombang Ketiga Indonesia oleh Anis Matta.
Gelombang Ketiga adalah buku pertama Anis Matta yang ditulis bukan dalam format kumpulan tulisan dari media-media tempat ia menjadi kontributor tetap, atau transkrip ceramah beliau dalam beberapa kesempatan. Buku ini adalah benar-benar buku pertama yang disusun oleh beliau mulai dari halaman pertama sampai terakhir.
Sebelas. Analisis Framing oleh Eriyanto.
Saya tidak ingat persis kapan tepatnya saya mulai menyukai buku-buku yang membahas tentang cultural studies. Mungkin pemicunya adalah sejak kehebohan kasus yang menjerat ustadz Lutfi Hasan Ishaq dimana saya melihat bahwa beberapa media begitu bersemangat mencitrakan sebuah kasus yang sebenarnya tidak masuk akal tapi dipaksakan sedemikian rupa agar bisa diterima nalar. Sejak itu, saya mulai rutin membeli buku-buku tentang media baik yang lama maupun baru, dan menekuni bacaan seputar kajian media dan studi budaya. Ditambah lagi dengan hiruk-pikuk pasca munculnya sebuah nama di pentas politik nasional dalam ajang Pilkada Gubernur Jakarta pada tahun 2012 dan Pemilihan Presiden pada tahun 2014 serta bagaimana kinerja media-media ketika itu, membuat saya perlu memasang alarm skeptisisme saat berhadapan dengan teks berita, baik lisan maupun tertulis.
Duabelas. Pengen Jadi Baik oleh Squ.
Saya bukan penggemar komik garis keras. Satu-satunya komik yang saya baca dari awal sampai tuntas hanya Dragon Ball. Selain itu, saya membaca komik-komik lain secara acak dan tidak runut. Tapi Pengen Jadi Baik adalah komik yang berbeda. Ini adalah komik yang bisa dibaca oleh semua kalangan dan kontennya sangat-sangat-sangat mendidik. Isinya seputar peristiwa sehari-hari yang sarat hikmah, kelucuan, dan keharuan yang dibalut dengan teks-teks agama seperti Al Quran dan Hadits Nabi. Menurut saya, Pengen Jadi Baik adalah semacam buku yang wajib ada di tiap rumah orang-orang muslim.
Tigabelas. Saat Berharga Untuk Anak Kita oleh Mohammad Fauzil Adhim.
Mohammad Fauzil Adhim tidak pernah gagal membuat buku bagus yang menohok kesadaran pembacanya. Sampai sekarang, saya masih berusaha keras untuk mengamalkan pesan-pesan yang tersurat di dalam buku ini kepada keluarga di rumah. Menurut saya, buku ini perlu dibaca oleh para orangtua baik orangtua yang masih baru dimana anak-anak mereka masih kecil, maupun yang sudah lama, yang anak-anaknya sudah beranjak remaja dan dewasa. Buku ini mengingatkan kita agar memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan anak-anak, mengajari dan mendidik mereka agar bisa menghadapi hidup yang ke depannya akan disesaki dengan tantangan.
Empatbelas. Saya Tidak Ingin Kaya Tapi Harus Kaya oleh Aa Gym.
Buku yang bisa memperkaya persepsi dan perspektif kita tentang kekayaan dan harta dari sudut pandang seorang Aa Gym.
Limabelas. Cinta Sejati oleh Guy de Maupassant.
Buku kumpulan cerpen sastrawan asal Prancis yang cukup ini tipis ini diterbitkan oleh Serambi. Buku ini saya baca sampai habis dalam sekali duduk. Ada sembilan cerita pendek di dalamnya. Cerita yang paling saya suka adalah Perhiasan Palsu atau yang dalam bahasa Prancisnya La Parure. Cerita yang ironis.
Enambelas. Kebangkitan Pos Islamisme oleh Ahmad Dzakirin.
Buku pertama tentang konstelasi politik di Turki yang ditulis oleh orang Indonesia. Endorsementnya memang bikin envy. Berhubung saya suka dengan buku-buku bertema Turki, maka buku ini juga wajib masuk kotak. Yang saya suka dari buku ini adalah ketika Erdogan tidak melawan paham sekularisme yang sudah beranakpinak di Turki secara frontal, tapi justru memanfaatkannya untuk memunculkan ideologi islamis yang diusungnya. Sebuah buku wacana yang menarik untuk dibaca kaum islamis yang kerap terjebak dengan cara berpikir tekstual saat terbentur dengan realita yang tidak sesuai dengan idealismenya.
Tujuhbelas. Orang-Orang Proyek oleh Ahmad Tohari.
Sebenarnya saya mau pilih Kubah, tapi saya lebih memilih Orang-Orang Proyek ini. Maklum, ini adalah dunia yang cukup dekat dengan saya selaku orang pajek, hehe.
Delapanbelas. Serial Pak Beye oleh Wisnu Nugroho.
Dark comedy yang bikin mules perut dan jidat mengkerut. Saya menunggu buku serupa dari penulis yang membahas tentang Presiden Indonesia periode selanjutnya lengkap dengan komedi satirnya.
Sembilanbelas. Loyalitas dan Anti Loyalitas Dalam Islam oleh Muhammad Said Al Qahthani.
Salah satu bacaan penting untuk masa penuh fitnah dan distorsi seperti yang sedang terjadi belakangan ini.
Duapuluh. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran oleh Dr. Syamsudin Arif.
Penulis buku ini adalah putra asli Jakarta yang meminang gadis Makassar. Ia adalah pemilik dua gelar Phd dari Malaysia dan Jerman; menguasai banyak bahasa asing: Inggris, Arab, Prancis, Latin, Jerman, Syriac, dan Hebrew; lulusan Gontor, dan kepakarannya digunakan untuk mencerahkan umat, bukan justru membuat bingung dan meniupkan keraguan di dada mereka terhadap diin ini.
Di dalam buku yang ditulis dengan gaya bahasa populer tapi kaya dengan referensi dan dihujani catatan kaki yang bertubi-tubi ini, penulis mendedahkan tentang sejarah para orientalis dan melakukan kritik tajam tentang cara berpikir mereka yang inkonsisten dan kerap merecoki perkara agama ini dengan cara brutal dan profan saat mereka terbentur dinding karena tidak bisa menemukan kelemahan yang ingin mereka eksploitasi. Ia juga melancarkan kritik lainnya terhadap prinsip epistemologi agama ala kaum orientalis dan para pembebeknya, isu feminisme, rasisme, termasuk metodologi tafsir para sofis (kaum sufi) dan wacana kosmologi Ibnu Sina. Buku bagus yang penting dibaca oleh kaum muslimin yang tidak ingin jatuh pada keambiguan dalam beragama.
****
Demikian daftar 20 buku yang berkesan buat saya selama kurun waktu 2012-2016. Setelah saya teliti kembali, ternyata daftar di atas didominasi oleh buku nonfiksi. Berbeda dengan daftar 20 buku di periode sebelumnya yang didominasi buku-buku fiksi. Daftar di atas saya buat secara acak dan spontan. Proses pembacaan selanjutnya mungkin bisa merubah atau menambah daftar di atas. Siapa yang tahu, hehe.
Bagaimana dengan Anda? [libridiary]
Saaba, Desember 2016
Saya akui, ada banyak perubahan dari pola baca saya selama kurun waktu empat tahun terakhir ini. Buku-buku yang saya kumpulkan dan baca itu bisa dibilang mengalami konvergensi pada tema-tema tertentu. Ini mungkin terkait dengan banyak aspek yang turut memengaruhi perjalanan hidup saya selama kurun waktu itu mulai dari bertambahnya jumlah anak, bertambahnya pengalaman hidup, dan peristiwa demi peristiwa yang terjadi di sekitar saya.
Ditambah lagi, saya merupakan tipe orang yang suka mencari jawaban atas pertanyaan yang berkelindan di kepala dari buku. Biasanya, ketika saya sedang ingin mencari tahu tentang sebuah tema, maka saya akan berselancar di dunia maya dan mencari buku yang tepat dengan tema yang saya maksud. Kadang saya mengumpulkan beberapa buku untuk satu tema, semisal buku-buku tentang sejarah kenabian, atau buku-buku tentang sejarah Turki Ustmani, dan kajian-kajian parenting. Belakangan, yang dimulai pada tahun 2012, saya mulai mengumpulkan buku-buku tentang Cultural Studies, kajian media, dan buku-buku pemikiran keislaman.
Sebagaimana daftar yang saya buat sebelumnya, maka daftar kali ini juga saya buat secara acak, tidak berurutan, dan saya sertakan kesan-kesan singkat saya terhadap buku yang dimaksud. Saya juga tidak memisahkan antara yang fiksi dan nonfiksi.
Satu. Islam Lawan Fanatisme dan Intoleransi oleh Khursyid Ahmad.
Saya sempat membahas buku ini di blog ini. Saya juga melakukan penyalinan dari naskah yang lama, memperbaiki istilah-istilah yang sulit dipahami dan menambahkan catatan kaki. Awalnya, saya tidak tahu kalau buku ternyata ada cetakan dari penerbit lain. Adalah seorang penjual buku daring di linimasa media sosial saya yang kemudian memposting buku ini yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Bandung ini dengan judul Islam dan Fanatisme dan membanderolnya dengan harga yang sangat murah. Tanpa pikir panjang, buku itu langsung saya beli. Ternyata, dibandingkan dengan yang cetakan lama, buku dengan judul Islam dan Fanatisme ini lebih nyaman dibaca meski tidak memuat penjelasan dan catatan kaki yang memadai. Semoga rencana penyalinan dan upaya melengkapi salinan itu dengan catatan kaki dan penjelasan singkat bisa segera saya tuntaskan.
Dua. Gadis Jeruk oleh Jostein Gaarder.
Penjelasan tentang buku ini juga sudah saya tulis secara singkat di blog ini.
Tiga. Istanbul oleh Orhan Pamuk
Kalau boleh jujur, saya ingin berkata bahwa saya cenderung lebih suka tulisan nonfiksi Pamuk ketimbang tulisan-tulisan fiksinya. Ada sesuatu yang begitu sendu dan intim dari tulisan-tulisan nostalgianya yang tersebar di buku-buku nonfiksinya. Salah satu tulisan yang paling saya suka adalah ketika ia menggambarkan kematian ayahnya dalam buku nonfiksinya yang berjudul Other Colors. Membaca tulisan itu saya serasa sedang membaca kisah hidup saya sendiri.
Empat. Room To Read oleh John Wood.
Buku ini juga sudah saya singgung sedikit di blog ini.
Lima. 111 Kolom Bahasa Kompas
Ini adalah buku yang sangat menarik dan membuat saya betah membacanya lama-lama. Saya bahkan mengulang-ulang beberapa bagiannya karena saking keasyikan membacanya. Bagi para penggemar utak-atik-gatuk dunia perbahasaan, yang peduli dengan perkembangan bahasa dan penikmat kajian linguistik populer, buku ini rasanya tepat untuk dimiliki dan dikaji.
Enam. Jalan Tak Ada Ujung
Jauh sebelum membaca buku ini, saya sudah membaca Catatan Subversif karya mendiang wartawan bertubuh tinggi besar ini. Dari semua buku Mochtar Lubis, baik yang fiksi maupun nonfiksi, novel tipis ini adalah favorit saya.
Tujuh. Ghirah oleh Buya Hamka.
Kaum muslimin yang dayuts, yang sudah hilang rasa cemburu terhadap agamanya, perlu kiranya membaca buku ini. Buku mungil yang bertenaga ini, yang rasanya bisa dilahap habis sekali duduk ini, benar-benar telah mencambuk kemalasan pikir dan kebancian bersikap para muslim ambigu yang kelewat percaya sabda media tenimbang sabda NabiNya, para muslim peragu yang tidak bernyali menampakkan keberislamannya yang lembut dan santun tapi bermartabat dan menjaga harkat di tengah-tengah umat yang sedang diombangambingkan keyakinannya, para muslim yang hatinya sudah beku, mati, dan berdaki karena malasnya mereka membaca, mengaji, dan mengkaji agamanya sendiri dengan hati bersih, jiwa tulus, dan pikir halus.
Delapan. Negeri Tanpa Laki-Laki oleh Eko Novianto
Meski kurang terlalu suka dengan desain sampul dan perwajahan isinya, yang juga sudah saya sampaikan secara langsung kepada penulisnya, buku ini membuat saya banyak merenung tentang posisi dan fungsi seorang laki-laki di dalam keluarga. Sebagai kepala dari dua keluarga (karena bapak saya sudah lama meninggal), buku ini semacam membantu saya menemukan sesuatu dalam diri saya yang selama ini saya kesulitan mendapatkannya. Tadinya saya mau pilih Engkaulah Matahariku, tapi akhirnya pilihan jatuh pada buku ini.
Sembilan. The Ghost Writer oleh Robert Harris.
Novel yang wajib dibaca sampai halaman terakhir. The Ghost Writer berkisah tentang seorang penulis bayangan yang mendapat tugas untuk menulis biografi seorang perdana menteri Inggris yang diliputi kontroversi karena mendukung invasi negaranya ke Iraq. Kebetulan saya mengoleksi semua novel karya Robert Harris kecuali novel terbarunya, Dictator, yang merupakan seri pamungkas dari trilogi Cicero.
Sepuluh. Gelombang Ketiga Indonesia oleh Anis Matta.
Gelombang Ketiga adalah buku pertama Anis Matta yang ditulis bukan dalam format kumpulan tulisan dari media-media tempat ia menjadi kontributor tetap, atau transkrip ceramah beliau dalam beberapa kesempatan. Buku ini adalah benar-benar buku pertama yang disusun oleh beliau mulai dari halaman pertama sampai terakhir.
Sebelas. Analisis Framing oleh Eriyanto.
Saya tidak ingat persis kapan tepatnya saya mulai menyukai buku-buku yang membahas tentang cultural studies. Mungkin pemicunya adalah sejak kehebohan kasus yang menjerat ustadz Lutfi Hasan Ishaq dimana saya melihat bahwa beberapa media begitu bersemangat mencitrakan sebuah kasus yang sebenarnya tidak masuk akal tapi dipaksakan sedemikian rupa agar bisa diterima nalar. Sejak itu, saya mulai rutin membeli buku-buku tentang media baik yang lama maupun baru, dan menekuni bacaan seputar kajian media dan studi budaya. Ditambah lagi dengan hiruk-pikuk pasca munculnya sebuah nama di pentas politik nasional dalam ajang Pilkada Gubernur Jakarta pada tahun 2012 dan Pemilihan Presiden pada tahun 2014 serta bagaimana kinerja media-media ketika itu, membuat saya perlu memasang alarm skeptisisme saat berhadapan dengan teks berita, baik lisan maupun tertulis.
Duabelas. Pengen Jadi Baik oleh Squ.
Saya bukan penggemar komik garis keras. Satu-satunya komik yang saya baca dari awal sampai tuntas hanya Dragon Ball. Selain itu, saya membaca komik-komik lain secara acak dan tidak runut. Tapi Pengen Jadi Baik adalah komik yang berbeda. Ini adalah komik yang bisa dibaca oleh semua kalangan dan kontennya sangat-sangat-sangat mendidik. Isinya seputar peristiwa sehari-hari yang sarat hikmah, kelucuan, dan keharuan yang dibalut dengan teks-teks agama seperti Al Quran dan Hadits Nabi. Menurut saya, Pengen Jadi Baik adalah semacam buku yang wajib ada di tiap rumah orang-orang muslim.
Tigabelas. Saat Berharga Untuk Anak Kita oleh Mohammad Fauzil Adhim.
Mohammad Fauzil Adhim tidak pernah gagal membuat buku bagus yang menohok kesadaran pembacanya. Sampai sekarang, saya masih berusaha keras untuk mengamalkan pesan-pesan yang tersurat di dalam buku ini kepada keluarga di rumah. Menurut saya, buku ini perlu dibaca oleh para orangtua baik orangtua yang masih baru dimana anak-anak mereka masih kecil, maupun yang sudah lama, yang anak-anaknya sudah beranjak remaja dan dewasa. Buku ini mengingatkan kita agar memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan anak-anak, mengajari dan mendidik mereka agar bisa menghadapi hidup yang ke depannya akan disesaki dengan tantangan.
Empatbelas. Saya Tidak Ingin Kaya Tapi Harus Kaya oleh Aa Gym.
Buku yang bisa memperkaya persepsi dan perspektif kita tentang kekayaan dan harta dari sudut pandang seorang Aa Gym.
Limabelas. Cinta Sejati oleh Guy de Maupassant.
Buku kumpulan cerpen sastrawan asal Prancis yang cukup ini tipis ini diterbitkan oleh Serambi. Buku ini saya baca sampai habis dalam sekali duduk. Ada sembilan cerita pendek di dalamnya. Cerita yang paling saya suka adalah Perhiasan Palsu atau yang dalam bahasa Prancisnya La Parure. Cerita yang ironis.
Enambelas. Kebangkitan Pos Islamisme oleh Ahmad Dzakirin.
Buku pertama tentang konstelasi politik di Turki yang ditulis oleh orang Indonesia. Endorsementnya memang bikin envy. Berhubung saya suka dengan buku-buku bertema Turki, maka buku ini juga wajib masuk kotak. Yang saya suka dari buku ini adalah ketika Erdogan tidak melawan paham sekularisme yang sudah beranakpinak di Turki secara frontal, tapi justru memanfaatkannya untuk memunculkan ideologi islamis yang diusungnya. Sebuah buku wacana yang menarik untuk dibaca kaum islamis yang kerap terjebak dengan cara berpikir tekstual saat terbentur dengan realita yang tidak sesuai dengan idealismenya.
Tujuhbelas. Orang-Orang Proyek oleh Ahmad Tohari.
Sebenarnya saya mau pilih Kubah, tapi saya lebih memilih Orang-Orang Proyek ini. Maklum, ini adalah dunia yang cukup dekat dengan saya selaku orang pajek, hehe.
Delapanbelas. Serial Pak Beye oleh Wisnu Nugroho.
Dark comedy yang bikin mules perut dan jidat mengkerut. Saya menunggu buku serupa dari penulis yang membahas tentang Presiden Indonesia periode selanjutnya lengkap dengan komedi satirnya.
Sembilanbelas. Loyalitas dan Anti Loyalitas Dalam Islam oleh Muhammad Said Al Qahthani.
Salah satu bacaan penting untuk masa penuh fitnah dan distorsi seperti yang sedang terjadi belakangan ini.
Duapuluh. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran oleh Dr. Syamsudin Arif.
Penulis buku ini adalah putra asli Jakarta yang meminang gadis Makassar. Ia adalah pemilik dua gelar Phd dari Malaysia dan Jerman; menguasai banyak bahasa asing: Inggris, Arab, Prancis, Latin, Jerman, Syriac, dan Hebrew; lulusan Gontor, dan kepakarannya digunakan untuk mencerahkan umat, bukan justru membuat bingung dan meniupkan keraguan di dada mereka terhadap diin ini.
Di dalam buku yang ditulis dengan gaya bahasa populer tapi kaya dengan referensi dan dihujani catatan kaki yang bertubi-tubi ini, penulis mendedahkan tentang sejarah para orientalis dan melakukan kritik tajam tentang cara berpikir mereka yang inkonsisten dan kerap merecoki perkara agama ini dengan cara brutal dan profan saat mereka terbentur dinding karena tidak bisa menemukan kelemahan yang ingin mereka eksploitasi. Ia juga melancarkan kritik lainnya terhadap prinsip epistemologi agama ala kaum orientalis dan para pembebeknya, isu feminisme, rasisme, termasuk metodologi tafsir para sofis (kaum sufi) dan wacana kosmologi Ibnu Sina. Buku bagus yang penting dibaca oleh kaum muslimin yang tidak ingin jatuh pada keambiguan dalam beragama.
****
Demikian daftar 20 buku yang berkesan buat saya selama kurun waktu 2012-2016. Setelah saya teliti kembali, ternyata daftar di atas didominasi oleh buku nonfiksi. Berbeda dengan daftar 20 buku di periode sebelumnya yang didominasi buku-buku fiksi. Daftar di atas saya buat secara acak dan spontan. Proses pembacaan selanjutnya mungkin bisa merubah atau menambah daftar di atas. Siapa yang tahu, hehe.
Bagaimana dengan Anda? [libridiary]
Saaba, Desember 2016
0 comments