Libridiary: Lima Serpihan Moral Umberto Eco
Saturday, December 24, 2016
Lima
Serpihan Moral. Itu adalah sebuah judul buku tipis yang ditulis oleh
Umberto Eco. Judul aslinya Cinque Scritti Morali dan terbit pada tahun
1997 di Italia. Buku itu diterjemahkan pertama kali dalam bahasa Inggris
pada tahun 2001 dan diterbitkan di Indonesia pada tahun 2002. Sependek
yang saya tahu, buku itu sudah diterbitkan lagi secara indie oleh sebuah
penerbit di Yogyakarta.
Pernah baca buku itu? Kalau belum, maka saya sarankan sampeyan untuk membacanya karena itu adalah buku yang sangat bagus.
Secara garis besar, Lima Serpihan Moral adalah refleksi mendalam Eco terhadap beberapa topik besar yang bersirkulasi di dunia ini seperti perang, fasisme, pers, dan renungan tentang masa depan fundamentalisme menjelang pergantian milenium.
Pada bagian yang berjudul Migrasi, Toleransi, dan Hal-Hal yang Tak Dapat Ditolerir, Eco memberikan pandangannya terkait pergantian milenium dan hal-hal yang lain yang berpusar di sekitarnya seperti migrasi dan semakin mencairnya aspek etnisitas dan kesukuan, serta kajian mendalam tentang fundamentalisme dan toleransi di era milenium, dimana dunia semakin tak bersekat dan kemurnian sebuah ras di ambang kepunahan sebagai akibat dari dunia sebagai melting pot raksasa yang dinamis dan bergerak.
Di dalam artikel itu, Eco menjelaskan tentang epistemologi fundamentalisme dari sudut pandangnya sebagai orang yang lahir dan besar dalam lingkungan Katolik di Italia. Ia berkata bahwa fundamentalisme adalah sebuah prinsip hermeneutik yang terkait dengan penafsiran kitab suci. Bahwa fundamentalisme Barat lahir dari lingkungan Protestan di Amerika dimana salah satu bentuknya adalah dengan melakukan penafsiran Alkitab secara harfiah dan meninggalkan metode ortodoks sebagaimana yang dipakai oleh kalangan Katolik. Dan seterusnya.
Ada bagian yang menarik perhatian saya ketika Eco selesai mendedahkan pandangannya tentang fundamentalisme sebagaimana yang dipahaminya itu.
"Saya harus menghilangkan pembahasan tentang fundamentalisme Islam dan Yahudi, yang akan saya serahkan kepada ahlinya."
Memang demikianlah adab seorang ilmuwan yang objektif. Bahwa ia hanya akan menjelaskan sesuatu yang dikuasainya, sesuatu yang dekat dengan kesehariannya, dan sesuatu yang menjadi bagian dari kepercayaannya tenimbang membahas hal lain yang berada di luar "lingkarannya". Sebuah keputusan yang, menurut saya, sangat bijak meski saya kira wajar jika ia menyampaikan pendapatnya tentang definisi fundamentalisme dari dua "saudara" kaum Masehi itu berdasarkan kapasitasnya keilmuannya.
Tapi belakangan ini, di linimasa saya, bertaburan pernyataan, yang kebanyakan bernada guyonan, dari seseorang yang bahkan tidak mempercayai (baca: tidak mengimani) objek guyonannya, namun dari ucapan dan pernyataannya itu seolah-olah ia adalah manusia yang paling paham dan paling tahu banyak dengan objek yang sedang dibicarakannya itu.
Mungkin itulah bedanya antara orang yang beragama dengan akal sehat dengan orang yang beragama dengan mengedepankan romansa dan prasangka melodrama ansich. Jadi semangat keberagamaan orang lain direfleksikan dan dinilai dari pengalamannya dalam menjalankan agamanya sendiri yang terkadang tidak ditunjang dengan semangat literer. Sehingga benar salahnya dan sesuai tidaknya cara orang memandang agamanya hanya dinilai berdasarkan selera dan prasangka kerdilnya semata.
Saya pribadi menghindari cara berpikir semacam itu dan memilih untuk mendiamkannya. Tulisan remeh-temeh ini saya buat bukan untuk merespon cara berpikir orang-orang semacam itu, tapi lebih kepada pengejawantahan pemahaman saya terhadap enam ayat dari surat ke 109 di Alquran, kitab suci yang saya imani, yang berbunyi lakum dinukum waliyadin. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Kiranya demikian. [libridiary]
Saaba, Desember 2016
Pernah baca buku itu? Kalau belum, maka saya sarankan sampeyan untuk membacanya karena itu adalah buku yang sangat bagus.
Secara garis besar, Lima Serpihan Moral adalah refleksi mendalam Eco terhadap beberapa topik besar yang bersirkulasi di dunia ini seperti perang, fasisme, pers, dan renungan tentang masa depan fundamentalisme menjelang pergantian milenium.
Pada bagian yang berjudul Migrasi, Toleransi, dan Hal-Hal yang Tak Dapat Ditolerir, Eco memberikan pandangannya terkait pergantian milenium dan hal-hal yang lain yang berpusar di sekitarnya seperti migrasi dan semakin mencairnya aspek etnisitas dan kesukuan, serta kajian mendalam tentang fundamentalisme dan toleransi di era milenium, dimana dunia semakin tak bersekat dan kemurnian sebuah ras di ambang kepunahan sebagai akibat dari dunia sebagai melting pot raksasa yang dinamis dan bergerak.
Di dalam artikel itu, Eco menjelaskan tentang epistemologi fundamentalisme dari sudut pandangnya sebagai orang yang lahir dan besar dalam lingkungan Katolik di Italia. Ia berkata bahwa fundamentalisme adalah sebuah prinsip hermeneutik yang terkait dengan penafsiran kitab suci. Bahwa fundamentalisme Barat lahir dari lingkungan Protestan di Amerika dimana salah satu bentuknya adalah dengan melakukan penafsiran Alkitab secara harfiah dan meninggalkan metode ortodoks sebagaimana yang dipakai oleh kalangan Katolik. Dan seterusnya.
Ada bagian yang menarik perhatian saya ketika Eco selesai mendedahkan pandangannya tentang fundamentalisme sebagaimana yang dipahaminya itu.
"Saya harus menghilangkan pembahasan tentang fundamentalisme Islam dan Yahudi, yang akan saya serahkan kepada ahlinya."
Memang demikianlah adab seorang ilmuwan yang objektif. Bahwa ia hanya akan menjelaskan sesuatu yang dikuasainya, sesuatu yang dekat dengan kesehariannya, dan sesuatu yang menjadi bagian dari kepercayaannya tenimbang membahas hal lain yang berada di luar "lingkarannya". Sebuah keputusan yang, menurut saya, sangat bijak meski saya kira wajar jika ia menyampaikan pendapatnya tentang definisi fundamentalisme dari dua "saudara" kaum Masehi itu berdasarkan kapasitasnya keilmuannya.
Tapi belakangan ini, di linimasa saya, bertaburan pernyataan, yang kebanyakan bernada guyonan, dari seseorang yang bahkan tidak mempercayai (baca: tidak mengimani) objek guyonannya, namun dari ucapan dan pernyataannya itu seolah-olah ia adalah manusia yang paling paham dan paling tahu banyak dengan objek yang sedang dibicarakannya itu.
Mungkin itulah bedanya antara orang yang beragama dengan akal sehat dengan orang yang beragama dengan mengedepankan romansa dan prasangka melodrama ansich. Jadi semangat keberagamaan orang lain direfleksikan dan dinilai dari pengalamannya dalam menjalankan agamanya sendiri yang terkadang tidak ditunjang dengan semangat literer. Sehingga benar salahnya dan sesuai tidaknya cara orang memandang agamanya hanya dinilai berdasarkan selera dan prasangka kerdilnya semata.
Saya pribadi menghindari cara berpikir semacam itu dan memilih untuk mendiamkannya. Tulisan remeh-temeh ini saya buat bukan untuk merespon cara berpikir orang-orang semacam itu, tapi lebih kepada pengejawantahan pemahaman saya terhadap enam ayat dari surat ke 109 di Alquran, kitab suci yang saya imani, yang berbunyi lakum dinukum waliyadin. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Kiranya demikian. [libridiary]
Saaba, Desember 2016
0 comments