Sebelum membaca buku Istanbul yang versi terjemahan bahasa Indonesia, saya lebih dulu menuntaskan terjemahan versi bahasa Inggrisnya – meski dengan sangat susah payah karena kemampuan bahasa Inggris saya yang seadanya. Nggak tau kenapa, citarasa bahasa Pamuk yang khas itu nggak terasa pada edisi terjemahan bahasa Indonesia ini. Saya lalu membaca bagian impresum buku (terjemahan bahasa Indonesia) itu dan mendapati bahwa buku ini ternyata diterjemahkan bukan dari buku aslinya yang berbahasa Turki, tapi dari buku berbahasa Inggris hasil terjemahan Maureen Freely.
Maureen Freely adalah putri dari John Freely. Anda yang pernah membaca buku Istanbul The Imperial City dan The Grand Turk Sultan Mehmet II pasti familiar dengan nama sang ayah karena memang beliaulah penulis kedua buku tersebut selain buku-buku bertemakan Turki lainnya yang menjadi konsernnya selama hidupnya. Kita harus berterima kasih kepada penerbit Alvabet dan Elex Media, karena versi terjemahan kedua buku itu telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dimana masing-masing buku itu terbit dengan judul Istanbul Kota Kekaisaran dan Sultan Mehmet II Sang Penakluk. Alhamdulillah, saya punya keduanya di rumah. Selain kedua buku itu, buku terjemahan John Freely lainnya yang terbit di Indonesia adalah Cahaya Dari Timur, terjemahan dari Light from the East, yang juga diterbitkan oleh Elex Media.
Kembali ke Maureen Freely. Maureen adalah seorang penulis beberapa buku yang sayangnya saya belum memiliki bukunya barang satupun. Akan tetapi, mari kita kesampingkan dahulu soal buku-buku karangan perempuan yang menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Turki itu, karena saat ini saya ingin menceritakan citarasa khas Pamuk yang hilang ketika saya membaca buku Istanbul versi bahasa Indonesia dengan yang versi bahasa Inggris. Sebabnya, sebagaimana yang sudah saya sebutkan di atas, adalah karena buku ini merupakan hasil terjemahan dari terjemahan. Mungkin itu satu-satunya penjelasan yang dapat menjawab keheranan saya dengan buku terbitan Serambi ini. Saya, secara terus terang, sangat tidak menikmati buku itu karena terjemahannya yang agak kurang membuat hati ini sreg dan, pastinya, bukan Pamuk banget.
Ocehan saya ini mungkin agak sedikit bernada sok tau karena saya sendiri belum pernah membaca buku-buku Pamuk dalam bahasa aslinya, Turki. Sehingga pendapat saya tentang kualitas terjemahan Maureen atas karya-karya Pamuk terasa lebih otentik ketimbang yang versi bahasa Indonesia bisa jadi sangat absurd. Saya sadar bahwa argumentasi saya di atas mengenai ketidaknyamanan saya membaca buku Istanbul versi bahasa Indonesia sangat rentan untuk dikritisi. Namun, jika menyesap tulisan Maureen Freely berjudul Misreading Orhan Pamuk menjelaskan secara cukup gamblang tentang interaksi yang intens antara Orhan dan Maureen yang ternyata adalah teman masa kecil dan sempat berkuliah di kampus yang sama di Robert College di Istanbul meski berbeda jurusan. Setelah buku Pamuk yang berjudul Beyaz Kale terbit kali pertama dalam versi terjemahan bahasa Inggrisnya yang berjudul The White Castle, diterjemahkan dengan sangat baik oleh seorang Ph.D lulusan Princeton University, Victoria Rowe Holbrook – saya juga punya buku ini – Pamuk dan Maureen kembali ‘bereuni’ dan mulai menyadari keberadaan mereka masing-masing yang telah terpisah begitu lama. Maureen yang juga seorang novelis dan jurnalis untuk The Guardian ketika itu ditawari langsung oleh Pamuk untuk menerjemahkan buku-bukunya yang akan datang. Maureen menceritakan sendiri dalam esainya yang terkumpul dalam buku In Translation: Translators on Their Work and What It Means, terbitan B&W Illus, menulis bahwa, “When he wrote to me in 2002 to ask if i would consider translating Snow, my first response was terror.” Maureen, yang bisa dibilang memiliki kemampuan berbahasa Turki aktif bahkan merasa berat dengan permintaan itu.
Salah satu faktor yang membuat Maureen keberatan dengan permintaan Pamuk adalah, “I could not help but remember how often i had lost the thread while navigating his longer sentences while reading the novel in Turkish." Jadi, bagi Anda yang suka merasa kelelahan dan, mungkin, sedikit bosan saat membaca kalimat-kalimat Pamuk yang kelewat panjang dalam buku-buku karyanya, yang karenanya Anda seolah sedang kehilangan arah, well, bersyukurlah karena Anda tidak sendirian. Maureen, yang bahkan sudah menerjemahkan lima buku Pamuk dalam kurun waktu delapan tahun, pun sempat merasakan hal yang sama dengan Anda.
Interaksi yang intens ditambah dengan hubungan personal yang kuat dan pemahaman Maureen akan budaya dan literasi Turki yang cukup mendalam menjadi faktor yang membuat hasil terjemahan Maureen menjadi sangat otentik. Dalam artikel yang dirilis oleh Washington Post berjudul Orhan Pamuk's Translator Discusses Her Work, Maureen menulis tentang proses penerjemahan buku Pamuk pertamanya, Snow, bahwa, “After Pamuk had read each finished draft, we sat down at his desk in his summer home on the Princes' Islands, off the coast of Istanbul, and argued it out, sentence by sentence. Though our conversations were often heated (perhaps because they were heated), they number among the most illuminating of my life. As we wandered together through the world of the book, he seemed to be opening doors to reveal spaces never before shown to an outsider.” Memang, kalau saya boleh sedikit sok tau, seorang penerjemah harusnya tak hanya bertugas untuk menerjemahkan sebuah buku berbahasa asing ke dalam bahasa ibunya, tapi juga mampu menjadi semacam novelis bayangan dari sang penulis aslinya. Itu sebabnya Maureen, masih dari artikelnya di Washington Post, menulis bahwa “.. there is, perhaps, a shadow novelist in every dedicated translator.” Dalam sebuah artikel yang ditulisnya di The Guardian, Maureen kembali mengulangi pendapatnya tentang novelis bayangan bahwa, “When I translate, I become something akin to a shadow novelist. When I am shadowing Pamuk, what I want to do most is capture the music of his language as I hear it. Accuracy is important, but a lot of what I need to be accurate about lies deep below the surface.”
Bisa jadi, adanya semacam ketidaknyamanan dan hilangnya cita rasa Pamuk yang khas ketika saya membaca buku terbitan Serambi itu terjadi karena hilangnya sisi personal sang penerjemah dengan buku yang sedang diterjemahkannya, dalam hal ini hubungannya dengan sang penulis buku itu sendiri. Mungkin ada alasan-alasan teknis dan non teknis yang menyebabkan Serambi memilih untuk “bermain aman” dengan menerjemahkan buku terjemahan lalu menerbitkannya, lalu menyajikannya untuk kita semua, termasuk saya.
Oh iya, selain Snow, Maureen juga menerjemahkan buku-buku Pamuk yang lainnya seperti The Black Book, The Museum of Innocence, Istanbul (sebagaimana yang sedang saya bahas saat ini), dan sebuah buku kumpulan essay berjudul Other Colors. Selain Snow dan Istanbul, ketiga buku Pamuk yang lain belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Oh iya, berikut saya salin kembali bagian yang membuat saya tidak nyaman membaca, yang ironisnya berada pada kali pertama saya membaca bagian awal buku ini:
“Sejak usia yang masih sangat muda, saya curiga di dunia saya terdapat lebih banyak hal ketimbang yang dapat saya lihat: di suatu tempat di jalan-jalan Istanbul, dalam sebuah rumah yang mirip dengan rumah kami, hiduplah Orhan lain yang menyerupai saya sehingga dia bisa dianggap sebagai kembaran saya, bahkan duplikat saya.” [Serambi]
“From a very young age, I suspected there was more to my world than I could see: somewhere in the streets of Istanbul, in a house resembling ours, there lived another Orhan so much like me that he could pass for my twin, even my double.” [Maureen]
Rasa-rasanya, ocehan saya ini sudah semakin banyak melenceng dari yang saya perkirakan. Saya hanya berharap, agar industri penerbitan buku-buku bermutu yang kian hari kian meningkat juga diikuti dengan kualitas penerjemahan yang tidak membuat pembaca-pembaca cerewet seperti saya ini mengerutkan dahi karenanya. Menutup tulisan ini, saya jadi ingat dengan seorang penjual buku online yang kerap mengingatkan saya sebelum saya membeli buku-buku sastra terjemahan yang dijualnya dengan kalimat, “Buku itu terjemahannya kurang bagus, mas.” Ocehan saya yang cukup panjang ini sebagian besarnya terinspirasi dari kata-kata sang penjual buku itu.
Tabik! [mylibridiary]
Kilongan, November 2014
Maureen Freely adalah putri dari John Freely. Anda yang pernah membaca buku Istanbul The Imperial City dan The Grand Turk Sultan Mehmet II pasti familiar dengan nama sang ayah karena memang beliaulah penulis kedua buku tersebut selain buku-buku bertemakan Turki lainnya yang menjadi konsernnya selama hidupnya. Kita harus berterima kasih kepada penerbit Alvabet dan Elex Media, karena versi terjemahan kedua buku itu telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dimana masing-masing buku itu terbit dengan judul Istanbul Kota Kekaisaran dan Sultan Mehmet II Sang Penakluk. Alhamdulillah, saya punya keduanya di rumah. Selain kedua buku itu, buku terjemahan John Freely lainnya yang terbit di Indonesia adalah Cahaya Dari Timur, terjemahan dari Light from the East, yang juga diterbitkan oleh Elex Media.
Kembali ke Maureen Freely. Maureen adalah seorang penulis beberapa buku yang sayangnya saya belum memiliki bukunya barang satupun. Akan tetapi, mari kita kesampingkan dahulu soal buku-buku karangan perempuan yang menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Turki itu, karena saat ini saya ingin menceritakan citarasa khas Pamuk yang hilang ketika saya membaca buku Istanbul versi bahasa Indonesia dengan yang versi bahasa Inggris. Sebabnya, sebagaimana yang sudah saya sebutkan di atas, adalah karena buku ini merupakan hasil terjemahan dari terjemahan. Mungkin itu satu-satunya penjelasan yang dapat menjawab keheranan saya dengan buku terbitan Serambi ini. Saya, secara terus terang, sangat tidak menikmati buku itu karena terjemahannya yang agak kurang membuat hati ini sreg dan, pastinya, bukan Pamuk banget.
Ocehan saya ini mungkin agak sedikit bernada sok tau karena saya sendiri belum pernah membaca buku-buku Pamuk dalam bahasa aslinya, Turki. Sehingga pendapat saya tentang kualitas terjemahan Maureen atas karya-karya Pamuk terasa lebih otentik ketimbang yang versi bahasa Indonesia bisa jadi sangat absurd. Saya sadar bahwa argumentasi saya di atas mengenai ketidaknyamanan saya membaca buku Istanbul versi bahasa Indonesia sangat rentan untuk dikritisi. Namun, jika menyesap tulisan Maureen Freely berjudul Misreading Orhan Pamuk menjelaskan secara cukup gamblang tentang interaksi yang intens antara Orhan dan Maureen yang ternyata adalah teman masa kecil dan sempat berkuliah di kampus yang sama di Robert College di Istanbul meski berbeda jurusan. Setelah buku Pamuk yang berjudul Beyaz Kale terbit kali pertama dalam versi terjemahan bahasa Inggrisnya yang berjudul The White Castle, diterjemahkan dengan sangat baik oleh seorang Ph.D lulusan Princeton University, Victoria Rowe Holbrook – saya juga punya buku ini – Pamuk dan Maureen kembali ‘bereuni’ dan mulai menyadari keberadaan mereka masing-masing yang telah terpisah begitu lama. Maureen yang juga seorang novelis dan jurnalis untuk The Guardian ketika itu ditawari langsung oleh Pamuk untuk menerjemahkan buku-bukunya yang akan datang. Maureen menceritakan sendiri dalam esainya yang terkumpul dalam buku In Translation: Translators on Their Work and What It Means, terbitan B&W Illus, menulis bahwa, “When he wrote to me in 2002 to ask if i would consider translating Snow, my first response was terror.” Maureen, yang bisa dibilang memiliki kemampuan berbahasa Turki aktif bahkan merasa berat dengan permintaan itu.
Salah satu faktor yang membuat Maureen keberatan dengan permintaan Pamuk adalah, “I could not help but remember how often i had lost the thread while navigating his longer sentences while reading the novel in Turkish." Jadi, bagi Anda yang suka merasa kelelahan dan, mungkin, sedikit bosan saat membaca kalimat-kalimat Pamuk yang kelewat panjang dalam buku-buku karyanya, yang karenanya Anda seolah sedang kehilangan arah, well, bersyukurlah karena Anda tidak sendirian. Maureen, yang bahkan sudah menerjemahkan lima buku Pamuk dalam kurun waktu delapan tahun, pun sempat merasakan hal yang sama dengan Anda.
Interaksi yang intens ditambah dengan hubungan personal yang kuat dan pemahaman Maureen akan budaya dan literasi Turki yang cukup mendalam menjadi faktor yang membuat hasil terjemahan Maureen menjadi sangat otentik. Dalam artikel yang dirilis oleh Washington Post berjudul Orhan Pamuk's Translator Discusses Her Work, Maureen menulis tentang proses penerjemahan buku Pamuk pertamanya, Snow, bahwa, “After Pamuk had read each finished draft, we sat down at his desk in his summer home on the Princes' Islands, off the coast of Istanbul, and argued it out, sentence by sentence. Though our conversations were often heated (perhaps because they were heated), they number among the most illuminating of my life. As we wandered together through the world of the book, he seemed to be opening doors to reveal spaces never before shown to an outsider.” Memang, kalau saya boleh sedikit sok tau, seorang penerjemah harusnya tak hanya bertugas untuk menerjemahkan sebuah buku berbahasa asing ke dalam bahasa ibunya, tapi juga mampu menjadi semacam novelis bayangan dari sang penulis aslinya. Itu sebabnya Maureen, masih dari artikelnya di Washington Post, menulis bahwa “.. there is, perhaps, a shadow novelist in every dedicated translator.” Dalam sebuah artikel yang ditulisnya di The Guardian, Maureen kembali mengulangi pendapatnya tentang novelis bayangan bahwa, “When I translate, I become something akin to a shadow novelist. When I am shadowing Pamuk, what I want to do most is capture the music of his language as I hear it. Accuracy is important, but a lot of what I need to be accurate about lies deep below the surface.”
Bisa jadi, adanya semacam ketidaknyamanan dan hilangnya cita rasa Pamuk yang khas ketika saya membaca buku terbitan Serambi itu terjadi karena hilangnya sisi personal sang penerjemah dengan buku yang sedang diterjemahkannya, dalam hal ini hubungannya dengan sang penulis buku itu sendiri. Mungkin ada alasan-alasan teknis dan non teknis yang menyebabkan Serambi memilih untuk “bermain aman” dengan menerjemahkan buku terjemahan lalu menerbitkannya, lalu menyajikannya untuk kita semua, termasuk saya.
Oh iya, selain Snow, Maureen juga menerjemahkan buku-buku Pamuk yang lainnya seperti The Black Book, The Museum of Innocence, Istanbul (sebagaimana yang sedang saya bahas saat ini), dan sebuah buku kumpulan essay berjudul Other Colors. Selain Snow dan Istanbul, ketiga buku Pamuk yang lain belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Oh iya, berikut saya salin kembali bagian yang membuat saya tidak nyaman membaca, yang ironisnya berada pada kali pertama saya membaca bagian awal buku ini:
“Sejak usia yang masih sangat muda, saya curiga di dunia saya terdapat lebih banyak hal ketimbang yang dapat saya lihat: di suatu tempat di jalan-jalan Istanbul, dalam sebuah rumah yang mirip dengan rumah kami, hiduplah Orhan lain yang menyerupai saya sehingga dia bisa dianggap sebagai kembaran saya, bahkan duplikat saya.” [Serambi]
“From a very young age, I suspected there was more to my world than I could see: somewhere in the streets of Istanbul, in a house resembling ours, there lived another Orhan so much like me that he could pass for my twin, even my double.” [Maureen]
Rasa-rasanya, ocehan saya ini sudah semakin banyak melenceng dari yang saya perkirakan. Saya hanya berharap, agar industri penerbitan buku-buku bermutu yang kian hari kian meningkat juga diikuti dengan kualitas penerjemahan yang tidak membuat pembaca-pembaca cerewet seperti saya ini mengerutkan dahi karenanya. Menutup tulisan ini, saya jadi ingat dengan seorang penjual buku online yang kerap mengingatkan saya sebelum saya membeli buku-buku sastra terjemahan yang dijualnya dengan kalimat, “Buku itu terjemahannya kurang bagus, mas.” Ocehan saya yang cukup panjang ini sebagian besarnya terinspirasi dari kata-kata sang penjual buku itu.
Tabik! [mylibridiary]
Kilongan, November 2014