Confessions of Abibliophobist

Wednesday, May 24, 2017

Saya tidak tahu judul tulisan ini benar atau salah. Mungkin cerita di bawah ini bisa sedikit memperjelas maksudnya.

Malam itu saya hendak mengantar beberapa paket ke agen ekspedisi dekat rumah. Waktu menunjukkan belum tepat pukul delapan.

“Abi nggak bawa hape?” tanya istri ketika saya mengeluarkan motor dari teras.

“Nggak, aku bawa buku,” jawab saya yang ketika itu yakin benar bahwa ada buku di dalam tas selempang yang saya bawa.

Membawa buku kemanapun saya pergi memang sudah jadi kebiasaan sejak lama. Apalagi agen ekspedisi di dekat rumah itu kalau malam biasanya lumayan rame. Daripada memakukan mata ke layar gawai, mending baca buku.

Sampai di agen, saya langsung membongkar muatan dan menaruhnya di meja petugas. Situasinya ketika itu lumayan ramai. Sadar bahwa akan mengantri agak lama, saya lalu membuka tas selempang. Apa lacur? Benda yang seharusnya ada di sana ternyata tidak ada. Buku yang tadinya saya kira ada di sana ternyata nihil! Celaka!

Duduk, menunggu, tanpa ada bacaan di tangan ternyata membuat saya gelisah. Mata saya bergerak ke sana dan kemari mencari bahan bacaan. Dapat. Poster-poster di dinding akhirnya jadi sasaran. Saya lalu membaca semua poster itu, tapi saya masih gelisah. Kembali bola mata saya berputar-putar kesana-kemari. Koran? Tidak ada. Majalah? Sialnya tidak ada juga.

“Masih lama ya, mas?” tanya saya kepada pegawai ekspedisi yang sibuk mengetik.

Ia melongok kepada saya, melihat tumpukan paket yang ada di dekatnya lalu menengok kepada saya lagi sembari menampilkan deretan giginya. Nyengir.

“Tuh, masih segitu, mas,” jawabnya.

Jawaban singkatnya: masih lama. Lama banget, tepatnya.

Saya kemudian bangkit. Rasa gelisah yang menumpuk ini ibarat pecandu rokok yang sedang jauh dari rokok. Saya bukan perokok. Tapi saya teringat dengan pengakuan teman saya yang perokok berat, yang merasa gelisah dan dada berdebar-debar ketika ia tidak merokok, atau minimal tidak memegang rokok di tangannya.

“Nanti resinya saya ambil, ya, mas. Saya mau jalan dulu.” Pamit saya.

“Sip,” balasnya singkat tanpa melihat ke arah saya.

Saya lalu menstarter motor, menyeberang lewat Kavling Hankam. Tujuan saya satu: toko buku bekas di depan jalan Haji Mencong yang pada jam segini biasanya masih buka. Sampai di sana, saya membeli beberapa buku.

Abibliophobia adalah semacam perasaan gelisah karena kehabisan bahan bacaan. Saya tidak tahu tinjauan medisnya seperti apa. Hanya saja, saya memang suka merasa gelisah kalau ada waktu senggang yang terlewat tanpa dihabiskan dengan membaca sesuatu. Sesuatu itu tidak melulu buku, tapi bisa benda-benda apapun yang berhuruf. Benda apapun. Asalkan berhuruf.

Dulu, waktu sumber bacaan terbatas, saya biasa membaca bungkus pasta gigi, bungkus sampo dan sabun ketika sedang di kamar mandi. Saya juga suka membaca bungkus mi instan ketika saya sedang menunggu mi-nya masak.

Ketika sumber bacaan mulai melimpah, saya selalu membawa buku saat beraktifitas di kamar mandi. Biasanya komik, kadang novel. Istri saya adalah orang yang sering memunguti benda-benda itu di kamar mandi yang kadang saya selipkan di lubang ventilasi atau di tempat sikat gigi.

Kadang, meski perut sudah terasa melilit dan kamar mandi sudah memanggil-manggil, saya masih perlu waktu sepuluh sampai lima belas detik berdiri di depan lemari buku untuk memilah dan memilih buku apa yang akan saya bawa ke kamar mandi. Atau ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi lewat dan saya belum juga ke kamar mandi tapi justru mematung di depan lemari buku sambil menyeret jari-jari saya di antara deretan buku. Sebuah ritual singkat yang tak jarang membuat istri saya geregetan.

“Bi, udah mau jam tujuh. Cepetan mandi, nanti telat ke kantor,” selorohnya.

“Aku masih nyari buku dulu.”

“Buat apa?”

“Dibaca di kamar mandi.”

“Iih, Abi ini!!”

Saya memandanginya dan membatin. Waktu senggang tanpa benda berhuruf memang menggelisahkan. Tapi bukan-waktu-senggang tanpanya sudah pasti jauh lebih menggelisahkan. [libridiary]

Cikokol, Mei 2017

You Might Also Like

0 comments