O Alquimista

Sunday, May 28, 2017

Manado, pertengahan tahun 2007. Seorang lelaki muda berkaus oblong, bercelana katun, dan bersandal jepit berjalan santai di trotoar. Jalan Sam Ratulangi ramai. Riuh rendah suara musik dari mobil-mobil berkelir biru yang memekakkan telinga dan gadis-gadis berparas cantik yang lalu-lalang mewarnai malam di kota yang sedang berangin kencang itu.

Lelaki itu membelokkan langkahnya ke sebuah bangunan berlantai tiga di sisi jalan. Tak sampai satu jam kemudian, lelaki itu keluar dari bangunan tersebut sambil menenteng sebuah tas plastik berukuran sedang. Ia lalu menyetop angkot biru dan bertolak menuju hotel tempat ia menginap.

Sampai di kamarnya, lelaki itu membuka plastik yang tadi dibawa dan mengeluarkan isinya. Sebuah buku kini dipegangnya. Buku itu bersampul hijau cokelat dengan bayangan seorang lelaki yang sedang mengangkat seekor burung. Di bagian lain, ada siluet lelaki dengan jubah berwarna putih dan domba-domba yang mengikuti di belakangnya.

Ia lalu membuka sampul plastiknya, menghirup aromanya — aroma khas buku yang masih baru, memandangi bagian sinopsisnya dan mulai membacanya. Mulanya, lelaki itu tidak terlalu mengerti dengan jalan cerita yang ada di dalam buku itu. Namun, semakin lama, ia makin terlarut dengan cerita itu.

Dalam dua hari berikutnya, lelaki itu nampak sering terlihat sedang membaca buku itu, terutama bila kegiatannya sudah selesai. Ajakan untuk berjalan-jalan di kota Manado dari beberapa temannya ia tolak demi melanjutkan petualangan imajinya bersama buku itu.

Buku itu akhirnya selesai dibacanya. Lelaki itu kemudian bertekad untuk mengikuti jejak Santiago, anak lelaki yang dikisahkan di dalam buku itu, untuk mengejar takdir dan memperjuangkan mimpinya di tempat yang asing bernama Luwuk, sepulangnya dari kota ini.

Waktu berjalan. Lelaki itu kemudian menikah. Tuhan juga mengamanahinya anak-anak yang lucu dan keluarga yang harmonis. Pekerjaannya di kantor juga dijalaninya dengan baik meski awalnya ia merasa kesulitan untuk beradaptasi.

Hari demi hari berlalu, lelaki itu kemudian melupakan mimpi-mimpinya. Atau mimpi-mimpinya yang justru meninggalkannya karena dilihatnya bahwa lelaki itu tak cukup gigih memperjuangkannya. Catatan-catatannya terlupakan, kisah-kisah hidupnya juga terlewatkan begitu saja. Meski terasa lemah, mimpi itu kerap hadir dalam kegamangannya menatap masa depan, memanggil-manggilnya untuk kembali memperjuangkannya. Menghidupkan harapan-harapannya yang telah lama terkubur masa.

Sepuluh tahun kemudian, lelaki itu telah berada di tempat yang jauh dari tempatnya semula. Ia tak lagi di tanah tempat awal mula mimpi itu disemai. Ia telah kembali di sini, di tanah kelahirannya. Lelaki tersebut kembali bersua dengan buku yang pernah dibacanya sepuluh tahun yang lalu itu. Menelusuri tiap-tiap lembar ceritanya, lelaki itu kembali teringat dengan peristiwa yang telah lama lewat di tanah yang berada nun jauh di sana itu.

“Yang terpenting bukanlah mimpi-mimpi itu, tapi bagaimana kita bisa mewujudkannya menjadi nyata.” Kata-kata itu terngiang-ngiang terus di dalam kepalanya.

“Ketika kau menginginkan sesuatu, maka alam semesta akan bersatu untuk membantumu mewujudkannya.” Kata-kata itu umpama mantra yang berdesakan di bilik jiwanya.

“Rahasia kebahagiaan adalah dengan menikmati segala hal yang menakjubkan di dunia ini tanpa pernah melupakan mimpimu.” Kata-kata itu dirapalkannya terus-terusan oleh kata hatinya.

Sepuluh tahun kemudian, entah sudah berapa kali ia membaca buku itu sampai tamat. Tapi, getaran jiwanya kali ini tak sama dengan hasil pembacaannya yang terdahulu. Ada rasa lain yang sedang bergejolak di dalam jiwanya. Gejolak tentang memperjuangkan kembali mimpi-mimpinya yang telah lama terlupakan. [libridiary]

Meruya, Mei 2017

You Might Also Like

0 comments