Buku dan Perjalanan
Saturday, January 14, 2017Adagium itu konon pernah diucapkan oleh Santo Agustinus dari Hippo. Ia adalah seorang filsuf dan teolog Kristen abad ke 4 Masehi, dimana ajaran-ajarannya memengaruhi perkembangan dunia kekristenan di Barat. Ia adalah uskup Hippo Regius, sebuah kota kuno yang kini bernama Annaba, di Numidia, Aljazair. Di antara karya agungnya adalah sebuah buku yang berjudul Confessiones, The Confessions, atau Pengakuan-Pengakuan. Semacam otobiografi masa mudanya sebelum akhirnya ia memilih jalan kekristenan.
Bagi sampeyan yang pernah membaca Vita Brevis-nya Jostein Gaarder, maka nama itu sudah pasti familiar. Vita Brevis adalah semacam kumpulan surat cinta dari mantan kekasih (baca: perempuan simpanan) Santo Agustinus yang mengaku bernama Flora Aemilia, dimana dalam surat-suratnya itu terkuak masa-masa silam sang Santo, yang di buku itu disebut dengan nama 'kesayangan' Aurel -- nama asli sang Santo memang Aurelius Augustinus, yang dilumuri dengan aib dan berkubang dalam lumpur nafsu. Buku itu, kalau boleh saya istilahkan, semacam upaya Flora untuk mencari perhatian Aurel karena merasa dirinya telah ditinggalkan, termasuk juga putranya Aeodatus yang kemudian meninggal waktu masih kecil, demi proses pertaubatan sang Santo, yang dianggapnya sebagai sebentuk pelarian dan wujud melepaskan diri dari tanggungjawabnya sebagai seorang lelaki sejati.
Sepertinya, uraian saya tentang Santo Agustinus, pemilik adagium itu, sudah terlalu panjang.
Bicara tentang perjalanan, kapan terakhir kali sampeyan melakukan perjalanan? Baik itu perjalanan dalam jarak pendek maupun panjang. Apakah nyaris setiap hari? Kalau perjalanan yang sampeyan lakukan itu memakan waktu yang cukup melimpah, dan sampeyan tidak disibukkan dengan tetek-bengek teknis perjalanan yang merepotkan (baca: tidak bawa kendaraan sendiri), maka apa yang akan sampeyan lakukan untuk mengisi waktu luang yang tersedia itu? Bengong? Mendengarkan musik? Selancar di dunia maya? Tidur? Mengaji? Atau membaca buku? Kalau sampeyan mengisi waktu dengan membaca buku, maka buku apa yang akan sampeyan bawa? Buku novel? Komik? Cerpen? Atau buku tentang teori Postmodernisme? Atau buku tentang Musthalahul Hadits? Bagaimana dengan ukuran bukunya? Besar? Kecil? Sedang? Tebal? Tipis? Atau bagaimana?
Saya suka membawa buku saat sedang dalam perjalanan. Sebenarnya, dalam semua kesempatan, selalu ada buku yang saya bawa di tas kulit imitasi murahan itu. Buku yang saya bawa sudah pasti berukuran kecil, atau sedang, dengan tebal antara 90-300 halaman. Buku-buku semisal Bekisar Merah-nya Tohari, atau Menjaga Lisan-nya Imam Al Gazali, atau Membuat Anak Gila Membaca-nya Fauzil Adhim. Buku-buku semisal itu.
Pernah suatu hari saya bepergian dan lupa membawa buku bacaan. Ternyata rasanya gelisah betul. Ditambah lagi paket data di ponsel pintar saya sedang kosong. Alhasil, untuk meredakan rasa gelisah, saya baca saja tulisan-tulisan yang seliweran di pinggir jalan baik itu papan nama atau baliho. Atau beli koran. Atau membaca yang lain; membaca tingkah-laku manusia, misalnya. Intinya harus ada yang dibaca, atau level stres saya bakal meningkat.
Istri saya paham benar soal kebiasaan saya yang satu ini. Pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor, ia tak henti-hentinya mengingatkan bahwa waktu sudah nyaris pukul tujuh dan saya masih mondar-mandir di depan lemari buku, memilah dan memilih buku apa yang akan saya bawa ke kantor. Sedangkan ‘pergi’ ke kamar mandi saja saya dahului dengan memilih buku yang akan saya baca di sana, apatah lagi bepergian ke tempat yang lebih jauh dan memakan waktu yang lumayan lama.
Dan karena soal ini pula, saya senang ketika melihat orang menenteng buku saat bepergian, atau saat menunggu di commuterline, atau ketika menunggu pesawat boarding di bandara, dan di kesempatan lowong apapun yang rasanya sayang jika dihabiskan dengan bengong, tidur, atau bermain ponsel. Dan karena saya adalah pembaca yang konservatif, jadi membaca buku digital di Kindle, Paperwhites, dan yang semacamnya masih belum bisa saya terima.
Tapi pada intinya adalah membaca kapan saja dan dimana saja. Meresonansikan antara perjalanan fisik dengan batin. [libridiary]
Meruya, Januari 2017
0 comments