Singkat cerita, saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Ian Irvine berjudul The Truth About Publishing. Ian Irvine adalah seorang penulis asal Australia yang telah menghasilkan sekitar 27 novel dan banyak buku lain sepanjang karir kepenulisannya. Saya sendiri belum pernah membaca buku-buku karyanya. Artikel berjudul di atas merupakan perjumpaan saya yang pertama dengan tulisan beliau.
Di dalam artikel itu, Irvine menyebutkan 32 hal penting (ia meredaksikannya sebagai Lesson atau pelajaran) tentang dunia penerbitan. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pada bagian kedua: Surviving Publications pelajaran kesebelas yang berjudul: Is That All You’re Printing? Pada bagian penutup, Irvine menulis demikian:
“A lot of authors are published in hardcover in the US, where it’s a sign that your publisher is enthusiastic about your book.”
Yang ingin saya garis bawahi adalah kalimat “.. buku yang dicetak dengan format sampul-keras adalah pertanda bahwa penerbit tertarik dengan buku Anda.”
Apa yang disampaikan oleh Irvine adalah informasi yang sangat baru bagi saya. Bahwa salah satu pertanda bahwa penerbit (dalam kasus ini penerbit di Amerika Serikat) menyukai sebuah buku adalah saat mereka menerbitkannya dengan format sampul-keras. Saya tidak tahu bagaimana dengan penerbit di Indonesia.
Tapi kalau bicara soal selera, saya pribadi lebih suka dengan buku berukuran besar (yang kecil juga suka asal sampul-keras, semisal buku The Short Second Life of Bree Tanner yang pernah diterbitkan oleh Gramedia) dan berformat sampul-keras. Semisal buku-buku terbitan Pustaka Azzam yang format dan ukurannya (termasuk desain sampulnya) nyaris seragam itu. Buku-buku berukuran saku dan berformat sampul-kertas, cenderung, kurang menarik minat saya. Saya tidak tahu apakah sudah ada kajian yang membahas tentang relasi antara format sampul buku dengan minat baca (atau minat beli) masyarakat di Indonesia. Namun jika ada survei yang menanyakan tentang hal itu, maka, dengan penuh keyakinan, saya akan memilih untuk membeli buku berformat sampul-keras ketimbang yang berformat sampul-kertas.
Bagi saya, buku berformat sampul-keras lebih mudah diakses ketimbang yang berformat sampul-kertas. Lembaran kertas pada buku berformat sampul-keras juga punya tingkat kepasrahan yang tinggi, karena ia tak ‘melawan balik’ ketika kita membukanya. Ia juga memenuhi unsur estetika ketika kita menempatkannya di dalam lemari di mana judul dan nama pengarangnya yang tertulis di punggung buku bisa tampak dengan jelas, dan karenanya memudahkan pencarian. Selain itu, buku sampul-keras relatif lebih awet dan tidak mudah rusak. Perawatannya pun cenderung menyenangkan meski, tidak dipungkiri, ada kendala tersendiri dalam hal kepraktisan.
Tulisan ini lebih ke bicara soal selera tentang format sampul buku. Saya tidak punya kapabilitas soal relasi format sampul buku, harga-harga kertas, kebijakan penerbit, minat baca dan daya beli masyarakat, serta regulasi-regulasi yang melingkupinya.
Kalau Anda sendiri bagaimana, format sampul buku seperti apa yang Anda suka? [libridiary]
Cikokol, Agustus 2017
Di dalam artikel itu, Irvine menyebutkan 32 hal penting (ia meredaksikannya sebagai Lesson atau pelajaran) tentang dunia penerbitan. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pada bagian kedua: Surviving Publications pelajaran kesebelas yang berjudul: Is That All You’re Printing? Pada bagian penutup, Irvine menulis demikian:
“A lot of authors are published in hardcover in the US, where it’s a sign that your publisher is enthusiastic about your book.”
Yang ingin saya garis bawahi adalah kalimat “.. buku yang dicetak dengan format sampul-keras adalah pertanda bahwa penerbit tertarik dengan buku Anda.”
Apa yang disampaikan oleh Irvine adalah informasi yang sangat baru bagi saya. Bahwa salah satu pertanda bahwa penerbit (dalam kasus ini penerbit di Amerika Serikat) menyukai sebuah buku adalah saat mereka menerbitkannya dengan format sampul-keras. Saya tidak tahu bagaimana dengan penerbit di Indonesia.
Tapi kalau bicara soal selera, saya pribadi lebih suka dengan buku berukuran besar (yang kecil juga suka asal sampul-keras, semisal buku The Short Second Life of Bree Tanner yang pernah diterbitkan oleh Gramedia) dan berformat sampul-keras. Semisal buku-buku terbitan Pustaka Azzam yang format dan ukurannya (termasuk desain sampulnya) nyaris seragam itu. Buku-buku berukuran saku dan berformat sampul-kertas, cenderung, kurang menarik minat saya. Saya tidak tahu apakah sudah ada kajian yang membahas tentang relasi antara format sampul buku dengan minat baca (atau minat beli) masyarakat di Indonesia. Namun jika ada survei yang menanyakan tentang hal itu, maka, dengan penuh keyakinan, saya akan memilih untuk membeli buku berformat sampul-keras ketimbang yang berformat sampul-kertas.
Bagi saya, buku berformat sampul-keras lebih mudah diakses ketimbang yang berformat sampul-kertas. Lembaran kertas pada buku berformat sampul-keras juga punya tingkat kepasrahan yang tinggi, karena ia tak ‘melawan balik’ ketika kita membukanya. Ia juga memenuhi unsur estetika ketika kita menempatkannya di dalam lemari di mana judul dan nama pengarangnya yang tertulis di punggung buku bisa tampak dengan jelas, dan karenanya memudahkan pencarian. Selain itu, buku sampul-keras relatif lebih awet dan tidak mudah rusak. Perawatannya pun cenderung menyenangkan meski, tidak dipungkiri, ada kendala tersendiri dalam hal kepraktisan.
Tulisan ini lebih ke bicara soal selera tentang format sampul buku. Saya tidak punya kapabilitas soal relasi format sampul buku, harga-harga kertas, kebijakan penerbit, minat baca dan daya beli masyarakat, serta regulasi-regulasi yang melingkupinya.
Kalau Anda sendiri bagaimana, format sampul buku seperti apa yang Anda suka? [libridiary]
Cikokol, Agustus 2017